Bagi Kelompok Tani Lewowerang di kampung Honihama Nusa Tenggara Timur,
uang hanya sebagai alat tukar sementara dan bukan menjadi kebutuhan utama.
—
Kampung Honihama, Desa Tuwagoetobi, Kecamatan Witimaha, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur terletak di wilayah perbukitan yang berbatu dan kering. Jalannya kecil dengan rumah berdempetan. Sepanjang mata memandang, terlihat tanaman jagung, kelapa, jambu mete dan beberapa kakao.
Desa Tuwageotobi seluas 7,34 kilometer persegi dihuni oleh 1.720 jiwa. Sebagian besar penduduk Tuwageotobi bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Mereka meninggalkan lahan-lahan mereka di kampung. Puluhan kebun di Tuwageotobi pun menganggur menjadi lahan tak produktif.
Mengembalikan semangat gotong royong
Musim kering di Tuwageotobi berlangsung cukup lama. Tujuh bulan dari Mei hingga November. Para petani selalu bersiap menghadapi masa paceklik dengan bercocok tanam musiman. Mereka saling mengunjungi kebun dan menawarkan bantuan. Gerakan ini mereka namakan gemohing.
Sayang sekali budaya gemohing ini belum dijalankan dengan optimal. Walaupun tetap saling membantu, namun selalu ada warga yang tidak menerima bantuan sebesar atau sama baiknya dibandingkan dengan warga yang lain. Seorang ibu janda yang memerlukan bantuan warga untuk membersihkan kebun biasanya tidak menerima bantuan tenaga sebanyak anggota masyarakat lainnya. Dijalankan seadanya, itulah praktik gemohing di masa lalu.
Awal tahun 2010, Kamilus Tupen Jumat (50 tahun), seorang warga Honihama yang pernah bekerja puluhan tahun sebagai Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia, berinisiatif untuk membentuk sebuah kelompok tani berdasarkan hubungan kemanusiaan.
Saat bekerja di Malaysia, Kamilus mempelajari pola hubungan sosial dan pola hubungan ekonomi. “Di Malaysia, atau di perusahaan mana pun yang besar, mereka hidup dengan disiplin. Bekerja sesuai waktu, namun sangat individualistik. Orang-orang seperti tak memiliki hubungan saling menjaga,” katanya. Sementara di tanah kelahirannya, ada budaya gemohing yang membuat setiap warga merasa terikat dan saling menjaga. Hanya saja pada waktu itu gemohing ini belum diterapkan secara disiplin.
Berlandaskan semangat saling membantu dan menjaga dari budaya gemohing inilah yang melahirkan Kelompok Tani Lewowerang. Pada awal berdiri jumlah anggota hanya 30 orang, namun hanya butuh dua minggu beberapa warga berdatangan hingga mencapai 72 orang. Kini kelompok ini telah beranggotakan 300 orang, baik yang berada di kampung maupun yang sedang bekerja di luar negeri.
Menggerakkan usaha jasa tanpa mengandalkan uang
Seperti kelompok tani lainnya di Indonesia, Kelompok Tani Lewowerang punya struktur organisasi dan tugas masing-masing anggota. Hanya saja, kelompok ini membentuk koperasi yang tidak biasa. Koperasi mereka tidak mengandalkan jaminan uang, melainkan jasa tenaga kerja.
Anggota yang membutuhkan jasa tenaga misalnya untuk membangun rumah, membersihkan kebun, ataupun saat panen melaporkan kebutuhannya tersebut pada pengurus koperasi dan mengisi voucher peminjaman tenaga. Anggota yang membutuhkan jasa tenaga ini kemudian diibaratkan sebagai majikan. Pengurus koperasi mencatat dan menghitung jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, lama waktu kerja, dan jenis pekerjaannya. Selanjutnya pengurus koperasi yang akan menghubungi anggota untuk bekerja pada hari dan tempat yang telah disepakati.
Setiap ‘peminjaman tenaga’ berjangka waktu empat bulan dengan bunga sebanyak 2 persen. Ini berarti majikan dapat menggunakan tenaga kerja dan berkewajiban melakukan pembayaran jasa tenaga kerja dalam durasi waktu empat bulan.
Pada sisi lain, anggota yang akan mengkontribuskan jasa tenaga pada satu pekerjaan disebut sebagai pekerja atau karyawan. Untuk satu pekerjaan, mereka perlu menyepakati berapa lama waktu kerja, besar upah, dan metode pembayarannya dengan pengurus koperasi. Untuk satu hari kerja dihitung delapan jam kerja. Upah yang diterima beragam sesuai jenis pekerjaan. Misalnya untuk memasang kusen, membuat rangka atap, menyusun bata, dihargai 6 ribu rupiah per jam. Sedangan keahlian umum bagi kaum laki-laki dihargai 5 ribu rupiah per jam dan untuk tenaga perempuan 4 ribu rupiah per jam. Kecilnya upah tenaga kerja perempuan disesuaikan dengan jenis kerjaannya yang lebih ringan, seperti membantu saat panen atau menjemur hasil pertanian.
Hal yang unik dari koperasi bentukan Kelompok Tani Lewowerang adalah metode pembayaran. Tidak selamanya upah pekerjaan diberikan dalam bentuk uang tunai. Majikan juga bisa membayar dengan jasa tenaganya kepada koperasi untuk pekerjaan yang kelak dibutuhkan oleh anggota lain. Di sisi lain, karyawan bisa memilih untuk menyimpan sebagian atau seluruh upahnya di koperasi dalam bentuk tabungan pendidikan.
Sebagai koperasi, setiap anggota kelompok memang diwajibkan membayar simpanan wajib sebanyak 100 ribu rupiah dan iuran bulanan sebesar 10 ribu rupiah. Sebagai bukti simpanan, setiap anggota diberikan selembar saham dalam bentuk voucher berisi keterangan keanggotaan dan biodata anggota. Dana yang terkumpul dari simpanan wajib dan iuran bulanan ini digunakan oleh Koperasi untuk membayar upah pekerja bila anggota membutuhkan pembayaran dalam bentuk uang tunai atau untuk menjadi pembayar pinjaman tenaga dari pekerjaan sebelumnya.
Membayar upah dengan tenaga
Rumput di kebun Daniel (35 tahun) sudah setinggi pinggang orang dewasa. Ia kemudian mengajukan pinjaman di koperasi untuk meminta bantuan sebanyak delapan orang. Pada Sabtu pagi, 14 Maret 2015, delapan orang anggota datang membantunya. Membawa parang, tongkat kecil untuk memisahkan rumput dan mereka mulai membabat.
Daniel pun ikut membantu. Meskipun hari itu menjadi majikan, ia tetap mengayunkan parang. Bersama anggota kelompok lain, bersimbah keringat. Pukul 10.00 anggota kelompok yang membantu itu beristirahat, sejenak mengasah parang, meneguk kopi ataupun air yang mereka bawa dari rumah masing-masing.
Dalam aturan kelompok tani ini, anggota kelompok yang membantu anggota lain, tak boleh mengambil, memakan, atau membawa apapun dari dalam kebun. Apakah buah atau bahkan kayu bakar. “Tidak boleh. Jadi akan kena sanksi sebulan tak dapat kerja,” kata Daniel.
“Sistem ini juga membantu kepercayaan pada setiap warga karena tak perlu ada mandor”
Frans Nama (67 tahun) yang ikut membantu membersihkan kebun, mengatakan sistem yang dijalankan koperasi kelompok tani ini seperti main-main. “Kalau tak ada uang, kita bisa pinjam tenaga dan bayar juga pake tenaga,” katanya.
Apa yang dijelaskan Frans sangatlah beralasan. Daniel sebagai contoh, dalam sehari karena ia dibantu delapan tenaga dengan upah Rp 5.000 per jam, maka utangnya di koperasi adalah Rp320 ribu. Untuk membayar pinjaman itu, Daniel dapat mengangsurnya selama empat bulan. Jika kemudian, kekurangan uang untuk membayar utuh pinjaman, maka ia dapat membantu anggota lain bekerja di kebun. Upah dia selama bekerja di kebun akan di potong di koperasi dan selebihnya akan menjadi simpanan.
Di hari yang sama, praktek serupa pun terjadi di kebun Kamilus Tupen. Sebanyak tujuh orang perempuan dengan sigap memasuki sela-sela bedengan tanaman jagung. Veronika Bebokoda yang ikut memanen jagung terlihat bahagia. Ia dengan cekatan mengumpulkan tongkol-tongkol jagung itu. “Sekarang kami ada kerjaan juga kan. Kalau dulu hanya bantu suami atau keluarga, dan selebihnya di rumah. Sekarang tidak lagi,” katanya.
Kelompok perempuan mengerjakan pekerjaan yang lebih ringan: memanen dan menjemur hasil panen. Di kebun Kamilus Tupen, mereka memilih jagung yang sudah layak panen. Ada puluhan karung tongkol jagung. Dikumpulkan di pinggir jalan lalu diangkut mobil ke kampung.
Mengembalikan kejayaan pangan lokal
Sabtu, 14 Maret 2015, adalah pagi yang hangat di kampung Honihama. Suara pukulan batu untuk memipihkan jagung terdengar bersahut dari rumah ke rumah. Bumbung asap dari kayu bakar, menerobos melalui sela dinding bambu.
Para penduduk membuat jagung titi, makanan khas warga. Rasanya sangat gurih. Untuk mengkonsumsinya dapat dicampur dengan air tawar, ataupun kuah ikan dan sayur. Bisa pula dengan susu cair. Tak kalah enak dengan gandum. Saat matahari mulai setinggi tombak, anak-anak sekolah bergegas berangkat sekolah. Dan sebelumnya telah sarapan jagung titi.
Pada masa lalu, masyarakat di kampung Honihama menanam jagung dan beberapa jenis umbi-umbian sebagai pangan utama. Namun makanan pokok adalah jagung. Umbi-umbian diadakan saat ritual adat dilaksanakan untuk syarat dalam kelengkapan. Sementara beras tak begitu tersohor di kampung ini, karena lahan yang begitu gersang.
Lalu kemudian, perdagangan antar pulau dengan masyarakat Bugis dan Buton mengenalkan beras. Dan perlahan-lahan jagung mulai dilupakan dan menjadi makanan pelengkap. Melihat kondisi itu, Kamilus Tupen prihatin. Bersama ibu-ibu anggota kelompok dibentuklah unit kegiatan perempuan untuk memproduksi jagung titi.
Kini produksi jagung titi di kampung Honihama sudah cukup baik. Dan bahkan sebuah restoran dan hotel di kota Larantuka menjadi pemesan setia, serta dijadikan menu di meja makan. “Target kami di Kelompok Tani Lewowerang memperkenalkan jagung titi. Jika sudah dikenal kami akan bahagia sekali,” kata Sipri bendahara kelompok.
Menghilangkan kelas sosial
Anggota Kelompok Tani Lewowerang tak pernah dibedakan dalam status sosial. Apakah dia seorang tokoh masyarakat, tokoh agama, ataupun pejabat pemerintahan. Adakala dia menjadi “majikan” atau besok akan menjadi “karyawan”.
Sebelum kelompok tani ini berjalan, hanya segelintir orang yang dapat mempekerjakan tenaga. Orang-orang inilah yang menentukan upah setiap orang dan menentukan jangka waktu pekerjaan. Layak atau tidak, tergantung si majikan. “Kami ingin memutuskan itu. Karena setiap orang sama dan memiliki hak,” kata Kamilus.
Salah seorang yang merasakan pentingnya hal itu adalah Thomas Tolang Pari (38). Ia bergabung dengan Kelompok Tani ini pada awal Maret 2015. Sebulan sebelumnya, ia baru saja kembali dari tanah rantau di Malaysia. Bekerja sebagai seorang juru mudi alat berat di perusahaan minyak. “Saya senang dengan sistem ini. Sangat membantu dan benar-benar memperlihatkan sikap kekeluargaan,” katanya.
Sebelum mengenal Kelompok Tani, saat membangun rumahnya di Desa Watoone, ia menggunakan sistem upah borongan dari pekerja luar kampung. Namun, saat bangunan mencapai tahap 70 persen selesai, ia begitu kecewa melihat hasilnya. Beberapa tembok bangunan tidak tersusun rapi. Intinya kurang puas.
Akhirnya kekecewaan itu membawanya berkenalan dengan KTL. Awalnya ragu-ragu, namun saat bergabung ia pun semakin yakin. Dengan mengawasi pembangunan rumah, ia dengan mudah melihat kekurangan dan mengatur porsi takaran seperti campuran semen agar kuat. “Sebelumnya, para pemborong itu kerja berdasarkan gaji dan uang semata. Sekarang kan tidak, yang bekerja adalah bagian dari keluarga, jadi semua pasti mencari yang terbaik,” kata Thomas.
Keberhasilan dan kesenangan Thomas akhirnya tersebar dari mulut ke mulut. Anggota KTL yang memiliki keahlian khusus tentu mendapat upah lebih baik. Dan cara ini dapat menambah semangat anggota KTL lain, untuk semakin produktif dan mengasah keahlian. Selain menambah daya saing anggota KTL, kisah ini pun diyakini menjadi pendorong bagi sebagian warga untuk menjadi “majikan”.
Melembagakan Usaha Kelompok Tani
Sejak berdiri lima tahun yang lalu, koperasi Kelompok Tani Lewowerang di kampung ini telah memiliki aset senilai 100 juta rupiah. Jumlah ini tentu saja tidak dalam bentuk tunai, melainkan dalam bentuk waktu kerja dan tenaga yang tersebar ke beberapa anggota kelompok.
Dalam hitungan Sipri, Bendaraha Kelompok Tani, setiap orang yang masih aktif, memiliki aset antara 200 ribu rupiah hingga 400 ribu rupiah. Aset-aset ini, kapan pun dapat ditarik oleh anggota baik dalam bentuk uang atau dmanfaatkan dalam bentuk tenaga kerja kelompok karena tak ada aturan yang mengikat.
Tahun 2015, pengurus Kelompok Tani Lewowerang, memiliki beberapa harapan untuk menjadikan kelompok ini besar. Seperti unit usaha kerajinan perempuan untuk pembuatan jagung titi dan usaha tenun akan semakin meningkat.
Menurut Kamilus Tupen, membangun masyarakat tidak hanya butuh keteguhan hati, melainkan ikut pula memberikan pemahaman akan organisasi. Untuk itu, bersama pemerintah desa kelompok ini akan dimasukkan ke dalam bagian dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
BUMDes akan membantu kelompok menjangkau tingkatan paling kecil. Serta menjadikannya semakin kuat dari segi administrasi dan kelengkapan persyaratan aturan keorganisasian dan lembaga. Ketika Kelompok Tani Lewowerang bergabung dengan BUMDes, maka pembagian peran dan penataan hubungan keorganisasian antara pemerintah dan masyarakat akan semakin terbuka. “Jadi pemerintahan desa dan masyarakat tak boleh terlepaskan,” kata Kamilus.
Perubahan yang terjadi
KTL tak hanya berfungsi menjadi simpanan dan digunakan untuk keperluan pertanian atau pembangunan rumah, melainkan dalam segala sektor, terutama untuk pendidikan. Setiap anggota kelompok yang membutuhkan dana untuk kepentingan anak sekolah, dapat meminjam uang secara tunai atau menabung melalui penggunaan tenaga jasa. “Kami ingin semua anak sekolah dengan baik, maka untuk pendidikan, kami anggap sebagai salah satu prioritas utama yang harus dibantu,” kata Daniel, Sekretaris KTL.
Anggota KTL yang bekerja di luar kampung, seperti di Malaysia, dengan bahagia mengirimkan sebagian penghasilannya ke koperasi kelompok untuk menggunakan jasa tenaga dalam mengerjakan lahan. Di desa ini, ada ratusan warga yang menggantungkan hidupnya menjadi seorang TKI di Malaysia. “Jadi mereka yang berada di Malaysia, konsentrasi bekerja. Setelah lahan mereka siap untuk panen mereka pulang,” kata Kamilus. “Jadi sekarang, di desa ini, hampir dipastikan tak ada lagi lahan tidur.”