Selangkah di depan pintu rumah kita ada kunci untuk hidup terbebas dari bahan kimia tanpa biaya mahal
Desa Salassae diapit dua aliran sungai besar, luasnya sekitar 10,8 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 4000 jiwa atau sekitar 926 Kepala Keluarga. Desa ini memiliki luas lahan pertanian sawah sekitar 100 ha.
Suasananya sangat menyejukkan. Sawah yang tersusun berundak-undak mengikuti kontur tanah berbukit. Ada aliran sungai dengan air yang jernih, ratusan capung yang terbang berseliweran, burung bangau yang mengendap-ngendap diantara tanaman padi.
Hingga praktik pertanian alami dilaksanakan sejak 2011, sudah 60 persen petaninya beralih meninggalkan pertanian berbahan kimia.
Kami ingin, penduduk di Salassae bangga dengan pertanian alami.
Seperti anak-anak yang membanggakan orang tua ~ Armin Salassa
Dimulai dari mengubah pola pikir
Ancaman utama dalam praktik pertanian yang mengandalkan bahan kimiawi adalah dampak dari penggunaan pestisida. Sebagian besar petani di Indonesia bukan hanya di Salassae, melakukan penyemprotan pestisida tanpa menggunakan masker penutup hidung ataupun kaos tangan untuk melindungi kulit dari bahan kimia.
Anak-anak yang sedang bermain di kebun atau di pekarangan rumah berisiko menghirup pestisida yang disemprotkan ke tanaman oleh orangtuanya. Kelompok petani di Salassae sepakat bahwa praktik pertanian menggunakan bahan kimia terbukti berbahaya dan merusak.
Sebelumnya di Salassae, pertanian menggunakan bahan kimia dilakukan semua orang. Penggunaan pupuk dan pestisida ke lahan-lahan persawahan tanpa adanya kontrol. Seperti, jika rumput belum mati, maka dosis racun ditambahkan. Akibatnya, padi menjadi kurus dan tanah menjadi jenuh.
Tahun 1980, warga mulai beralih menanam cengkeh dan karet. Ratusan hektar lahan sawah berubah fungsi. Sementara kebutuhan hidup semakin meningkat, musim panen cengkeh hanya setahun sekali. Atas dasar inilah, sebagian besar warga beralih mencari pekerjaan.
Akhirnya puluhan anak muda yang hanya menamatkan SMA melakukan perjalanan yang panjang menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Menjadi buruh paruh waktu di perusahaan, ataupun buruh di perkebunan sawit. Dari kebun-kebun sawit inilah, para warga kemudian menemukan racun hama yang dikirimkan ke Salassae.
Racun Malaysia, warga Salassae menamakannya demikian. Harganya hingga Rp1 juta per dua jerigen. “Paling ampuh dan bisa bunuh hama dengan seketika,” kata Armin.
Tingginya penggunaan pestisida inilah yang membuat Armin gelisah. Pada 2011, dengan modal cerita dan pengalaman bekerja sebagai tenaga lapangan di beberapa NGO, ia membuka wacana pada beberapa petani.
Selama enam bulan, Armin dan beberapa petani memulai diskusi. Setiap hari, dari pagi, siang hingga malam dari rumah ke rumah. Membangun mimpi secara bersama. Semangat yang menyatukan mimpi mereka berdasar pada kepercayaan bahwa Salassae adalah kampung yang sangat penting, jika Salassae rusak maka bumi akan bocor.
Meninggalkan praktik konvensional kembali ke pertanian alami
Empat tahun lalu, seratusan pohon tanaman cabe milik keluarga Abdul Wahid (33 tahun) bertumbuh subur, batangnya kokoh, daunnya lebat dan lebar-lebar, namun tak menghasilkan buah. “Mungkin kelebihan dosis, atau ada yang salah dengan pupuknya,” katanya, sambil mengenang. “Tapi kan kami bangga. Jadi bilang ke orang-orang kalau mau lihat daun cabe paling besar di dunia, itu di Salassae,” tambahnya sembari tertawa.
Tanaman cabe dengan daun terbesar di dunia milik Abdul Wahid adalah uji coba warga di desa Salassae, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, pada awal mereka kembali ke praktik pertanian alami.
“Tanaman cabe kami kelebihan unsur nitrogen. Jadi pertumbuhan daunnya sangat bagus tapi karena kekurangan unsur kalium maka tanaman tidak menguatkan bunga dan buah,” jelas Armin Salassa, inisiator pertanian alami di Salassae.
Ebri, kepala Dusun Bonto Tangnga mulai mencoba pertanian alami pada musim tanam padi awal tahun ini. Ia tidak lagi menggunakan pupuk berbahan kimia di lahannya yang seluas 4 are. Ia menaburi lahannya hanya dengan pupuk kompos. Hingga usia 25 hari, tanaman padinya tumbuh sangat baik.
Namun menjelang musim bunga keluar tiba-tiba tanaman padinya menguning dan rusak. “Saya heran. Saya tanya ke teman-teman, kenapa seperti ini. Rupanya saya kelebiihan kompos,” katanya. “Seharusnya saya gunakan 5 karung kompos saja, tapi waktu itu saya pakai kompos sampai 20 sak.” Ebri tidak berkecil hati apalagi menyerah. “Saya akan coba lagi. Dan akan buktikan kalau saya bisa lebih baik toh,” katanya.
Di Salassae, beralih ke praktik pertanian alami telah merangsang semangat belajar dan berinovasi para petani. Tahmil (41 tahun) seorang petani menyebutnya sebagai proses percobaan. “Kalau semua baik-baik saja, tak ada inovasi nantinya,” katanya. “Anda bayangkan, kacang panjang yang awalnya ditanam tiba-tiba buahnya sebesar jempol kaki. Lalu teman-teman mencari tahu, maka sekarang bisa disesuaikan. Mau besar atau kecil, tinggal mengurangi atau menambahkan nutrisi tanaman sesuai kebutuhan.”
Mengganti bahan kimia, mengandalkan mikroba
Setiap buah dan tanaman memiliki unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman. Ekstrak buah pepaya bila difermentasi akan menghasilkan unsur kalium. Begitu juga dengan cangkang telur yang disangrai dan difermentasi. Tak hanya itu tulang sapi yang dilarutkan bersama asam cuka pun menghasilkan unsur yang sama.
Di samping rumah Abdul Wahid berdiri sebuah bangunan semi permanen. Petani-petani di Salassae menamakannya demplot. Di tempat ini berjejer toples-toples kaca berisi beragam ekstrak buah yang sudah difermentasi. Ada yang sudah berbentuk cair karena sudah 80 hari. Ada cacahan jantung pisang, batang pisang, buah pisang, daging ikan, pepaya, nanas, dan puluhan ekstrak lainnya.
Semua hasil ekstrak itu berwarna coklat karena dicampur dengan gula merah. Aroma setiap ekstrak buah ini tidak membuat mual, bahkan beberapa petani sesekali mencicipinya dengan menenggelamkan telunjuknya ke dalam wadah lalu menjilat.
Petani-petani di Salassae belajar mengelola pertanian alami termasuk mengatur ‘pola makan’ tanaman. Kapan tanaman-tanaman mereka memerlukan nitrogen, fosfor dan kalium. Belajar dari berbagai dokumen yang bisa diperoleh di internet, petani-petani ini mengetahui setiap fase tumbuh tanaman membutuhkan asupan yang berbeda jenis dan kadarnya. Pengetahuan mengenai pola makan, masa tanam dan kecocokan tanam merupakan kearifan lokal yang hidup kembali di Salassae.
Dalam proses pembuatan mikroba, kompos dan nutrisi yang dilakukan secara gotong royong semua bahan-bahannya diperoleh dari lingkungan sekitar,pun dengan gula merahnya. Gula merahnya sendiri diproduksi dengan cara alami di desa Salassae.
Ekstrak buah berfungsi sebagai nutrisi tanaman. Para petani menyemprotkannya dengan campuran air tawar dari sumur. Untuk ukuran tangki 15 liter, penggunaan ekstrak sebanyak tiga sendok makan. Ekstrak buah sebanyak 20 liter bisa dipakai selama dua tahun.
“Dalam satu kali siklus penanaman hingga panen, ada enam kali penyemprotan nutrisi yang berbeda. Sama saja dengan manusia, walaupun sate rasanya enak, tapi tidak dapat dimakan oleh anak yang baru lahir”, kata Armin.
Pertanian alami menopang perekonomian petani
Hasil pertanian alami dan yang menggunakan bahan kimia jauh berbeda. Sebelum Tahmil beralih ke praktik pertanian alami tahun 2013, di sawah seluas 30 are miliknya hanya mampu menghasilkan sekitar 5 karung padi. “Sekarang saya bisa menghasilkan sekitar 800 kilogram atau 7,5 karung,” katanya.
Berat padi yang ditanam secara alami pun lebih baik. Satu karung gabah seberat 110 kilogram dapat menghasilkan 90 kilogram beras. Sedangkan untuk berat gabah yang sama dari hasil pertanian kimiawi hanya mampu menghasilkan maksimum 60 kilogram beras.
Perbedaan biaya produksi pada praktik pertanian alami dengan penggunaan bahan kimia sangat berbeda. Untuk lahan pertanian sawah seluas 1 hektar, biaya produksi untuk persiapan pupuk dan racun pestisida mencapai 4 juta rupiah. Sementara jika menggunakan bahan alami biaya produksinya hanya 300 ribu rupiah. Biaya itu pun hanya untuk membeli kompos dan gula merah.
Dalam memasarkan hasil dari praktik pertanian alami, para petani Salassae membentuk Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS). Mereka juga membuat unit koperasi yang mereka sebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Di LKM ini, hasil produksi pertanian dikumpulkan dan disalurkan melalui jaringan. LKM membeli beras petani seharga Rp11 ribu per kilogram dan memasarkannya dengan harga Rp15 ribu per kilogram.
Kini Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS) telah memproduksi pupuk kompos sebanyak 75 ton. Sementara lahan pertanian untuk sawah seluas 30,6 hektar atau sebanyak 73 orang dengan hasil pertanian sebanyak 1,5 ton beras. Pertanian kacang tanah 320 kilogram, sayur mayur seluas 2,5 hektar, kebun sebanyak 200 petani, dan peternakan.
Perubahan yang terjadi
Jayadi seorang petani, yang sedang menaburkan pupuk kompos di lahan sawahnya, memperlihatkan perbandingan kekuatan antara padi alami dan non alami. Pertama, batang padi dengan penggunaan pupuk alami lebih besar dan kokoh. Batangnya seperti memiliki isi dan tidak lembek atau mudah retak saat ditekan. Kedua, akar padi pun lebih panjang. “Jadi kalau menjelang panen dan ada angin, tidak perlu khawatir. Tidur saja di rumah, padi tidak akan rebah dan jatuh seperti saat menggunakan pupuk kimia,” katanya.
Di sisi lain, ketahanan akan hama dengan praktik pertanian alami pun lebih baik. Batang-batang padi yang kokoh dan keras tak dapat dimakan tikus dengan cepat. “Biarkan saja. Paling hanya dua atau empat kumpulan padi yang mati kalau tikus akan gigit. Bisa ompong itu tikus, jadi padi tak akan habis,” kata Armin.
Saat ini pengembangan pertanian alami sudah mulai disebarkan di 25 desa tetangga. Perubahan pola pikir petani dari pertanian yang mengandalkan bahan kimia ke seratus persen mengandalkan bahan-bahan alami, adalah hal terbesar yang mendasari perubahan perilaku mereka.
Memanfaatkan berbagai pengetahuan yang diperoleh dari internet, petani Salassae melakukan beragam uji coba untuk mendapatkan komposisi terbaik pupuk alami misalnya. Mereka kini lebih menghargai proses berbagi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman.
Dengan model seperti itu, anggota KSPS telah memahami sistem pertanian alamiah. Dan setiap orang bertanggungjawab, menyebarkan pengetahuan. Kini, dengan pengetahuan setiap anggota, KSPS merencanakan Salassae menjadi kampung pendidikan pertanian. Kini secara perlahan, sawah, kandang peternakan, hingga kebun warga mulai ditata. Membuat pagar dan menanam bunga.
Bukan hanya pola pikir mereka mengalami perubahan, para petani di Salassae juga telah memiliki pengalaman berorganisasi. Masing-masing anggota Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS) menjadi fasilitator pertanian. Ismail Tismin (43 tahun) membangun sistem pertanian alamiah di lima desa tetangga, seperti Bonto Bangun, Bonto Haru, Batu Karopa, Pangalloang, dan Borongrappoa. “Di desa-desa ini ada tiga orang yang mulai mempraktikkan pertanian alamiah. Sedikit-sedikit saja tidak perlu banyak,” katanya.
Transfer ilmu dari seorang petani ke petani lainnya di Salassae dilakukan dengan cara yang unik. Masing-masing anggota baik ibu-ibu maupun bapak-bapak menjadi agen-agen penyebaran informasi mengenai sistem pertanian alami. Mereka diharapkan dapat menularkan informasinya sekecil apapun yang mereka tahu di lingkup sekitar mereka dulu. Tidak masalah apakah yang bisa dipengaruhi itu awalnya satu atau dua saja.
Keberadaan KSPS memberi dampak pada banyak sendi-sendi kehidupan warga di Salassae, tidak hanya terjadi pada budaya bertani. Namun juga terjadi pada dimensi perekonomian dan sosial. Warga Salassae kini kembali bergotong royong, belajar dan melakukan uji coba secara berkelompok dan saling membantu. Perubahan terbesar tentunya terjadi pada lingkungan tempat tinggal mereka yang bebas dari bahan kimia.
“Mimpi kami sederhana, Salassae akan menjadi kampung pendidikan. Jika mau lihat taman yang luas itu di Salassae. Jika ingin lihat sistem pertanian alamiah secara besar itu di Salassae. Jika ingin lihat peternakan yang ramah lingkungan itu di Salassae juga,” kata Armin.