Memerangi Kutukan di Papua Barat
Berjuang Melawan HIV dan AIDS dengan Hati
Mendung menggelantung di langit Kota Sorong. Sayup-sayup terdengar isakan tangis. Sesosok tubuh terbaring di atas ranjang. Terbujur kaku. Orang-orang
ragu dan takut mendekatinya. Di bawah keremangan lampu, beberapa orang Mbergerombol, berbincang, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Ketakutan semakin menjadi setelah mereka mengetahui bahwa orang tersebut mengidap HIV dan AIDS. Sebuah penyakit yang mereka pahami sebagai “kutukan”. Sehingga tak seorang pun tergerak untuk merawat atau menyentuhnya, kekuatiran tertular oleh penyakit “kutukan” itu menjadi alasan untuk berdiam diri, selain hanya menyesali dan menyalahkan.
Suasana berubah ketika beberapa orang relawan hadir di tengah-tengah suasana kebingungan itu. Seorang perempuan berbaju putih dengan penutup kepala yang juga putih, mendekati sosok terbujur tersebut.
Ia menyentuhnya. Memastikan kondisi tubuh yang sudah terbujur kaku itu. Beberapa relawan kemudian membantunya, turut merawat jenazah. Perempuan yang tak lagi muda itu kemudian memandikan jenazah dan menguburkannya malam itu juga dibantu oleh relawan lainnya. Hanya satu yang muncul dibenaknya saat itu, bahwa setiap orang yang meninggal, patut mendapatkan penghormatan terakhir dan karenanya harus diperlakukan secara manusiawi apapun suku, ras, dan agamanya.
Itulah sepenggal kisah yang sangat dikenang oleh Suster Zita CB, bungsu dari tiga belas bersaudara, kelahiran Yogyakarta, 64 tahun silam. Pengalaman ini telah memacu dirinya bersama Yayasan Sosial Agustinus (YSA) menghadapi tantangan dalam memberi pandangan kepada masyarakat awam mengenai HIV/AIDS. Setidaknya mereka membuktikan langsung bahwa HIV tidak menular melalui sentuhan, tinggal serumah bersama, juga duduk seruangan dengan Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA).
Hampir 12 tahun sejak 1996, YSA memberikan perhatian khusus terhadap penyakit yang tumbuh subur di tengah masyarakat kota Sorong. Tanpa rasa takut sedikit pun mereka langsung melakukan pendekatan dan meningkatkan pemahaman mengenai HIV & AIDS bagi kelompok resiko tertinggi yaitu para pekerja seks komersial. Setelah itu cakupan kelompok target diperluas ke para pekerja Bar, panti pijat, perusahaan perikanan, korban trafficking, bahkan ke masyarakat umum. Hingga saat ini, YSA juga melaksanakan program dukungan bagi keluarga miskin dan ODHA, serta program kolaborasi penanggilanan HIV & AIDS serta perlindungan anak.
Suster Zita bersama relawan YSA tak pernah letih mengunjungi daerah beresiko tinggi. “Jika melakukan hubungan seks, pakailah kondom dengan benar dan disiplin. Kondom dapat melindungi diri sendiri dan pasangan dari penularan HIV dan mencegah berbagai infeksi menular lainnya,” ungkapnya di depan hampir 300 orang PSK yang memadati sebuah ruang pertemuan di lokalisasi Malano kota Sorong. Kegiatan penyuluhan seperti ini dapat terlaksana melalui kolaborasi dengan dinas kesehatan dan ketua lingkungan lokalosasi.
Terobosan lain yang dilakukan YSA adalah membangun komunikasi dengan para “mami” yang tersebar di 48 mini bar, untuk memberikan pengertian dan pendidikan tentang HIV/AIDS kepada “anak-anaknya” sebelum “beroperasi”. Lebih dari itu, mereka juga terus memantau 24 panti pijat dan sedikitnya 60 salon yang berpotensi sangat rawan penyebaran HIV/AIDS.
Saat ini selain relawan YSA, telah terbangun jejaring dengan pemerintah dan LSM lainnya yang memiliki kepedulian yang sama. Yang menarik adalah penyokong utama dan para relawan di YSA berasal dari berbagai latar agama yang berbeda. Suster Zita menyebut ini sebagai Tungku yang menjadi pilar pendukungnya, baik berlatar Muslim, Katolik, Protestan, Hindu maupun Budha. Kelima agama besar ini bekerja sama dalam semangat pengabdian dan kasih dalam menyelamatkan umat.
Kerja keras bertahun-tahun telah membuahkan hasil. Simak saja apa yang dikatakan H.E. Sihombing, kepala Dinas Kesehatan Kota Sorong, bahwa 80% masyarakat kota Sorong telah paham tentang HIV/AIDS. Ini merupakan capaian yang besar bagi YSA walaupun mereka belum berani memastikan apakah telah terjadi penurunan jumlah orang yang terjangkit HIV/AIDS di kota tersebut. Hingga bulan Oktober 2008, menurut data YSA, jumlah penderita HIV- positif sebanyak 657 orang.
Pengakuan yang menarik, juga datang dari beberapa ODHA. Sebut saja Bung Hen dan Bung Boy (bukan nama sebenarnya), dua dari sekian banyak ODHA yang kini terlibat aktif dalam kampanye pencegahan penularan HIV dan AIDS. Para ODHA ini menjadi subyek penanggulangan yang paling mengerti kebutuhan dan bagaimana hidup dengan HIV. ‘’Saya berharap cukup saya saja dan berhenti pada saya saja orang dengan HIV, karna itu di manapun saya selalu menyampaikan agar masyarakat bisa menjaga (diri),” ujar Hen.
Begitu pula dengan Kristi (bukan nama sebenarnya). Waria pekerja salon ini juga memiliki semangat yang sama. Betapa tidak, Ia telah menyaksikan teman dekatnya sesama waria, meninggal akibat serangan virus mematikan yang belum ditemukan penyembuhnya. “Yang paling penting, saya harus terus menerus meminum obat dengan disiplin. Buktinya, meski telah beberapa tahun, saya tetap bertahan hidup. Karena itu, saya selalu menyarankan teman-teman, baik sesama waria maupun pengunjung salon agar jangan lupa pakai kondom,’’ katanya sambil tersenyum.
Bagi Suster Zita dan relawan YSA lainnya, pekerjaan mendampingi dan merawat ODHA ini merupakan panggilan jiwa. Upaya yang dikerjakan mereka , antara lain mengajarkan kepada masyarakat supaya tidak bersikap munafik dalam menghadapi epidemi ini. Suster Zita berharap, sekalipun mereka pada akhirnya harus meninggal, biarlah mereka bisa menghadapinya dengan tenang tanpa beban batin atas perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitarnya yang menganggap mereka menderita penyakit kutukan Tuhan.