Cerita Pemberdayaan dari Lombok Barat
Semua orang berperan setara dan setiap individu mempunyai potensi yang harus diakui dan ilmu yang penting untuk dibagi sehingga perubahan untuk menjadi lebih baik akan terus menerus terjadi.
Jumilah, demikian sapaan bagi seorang perempuan sederhana dari Dusun Duduk Bawah, Desa Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat. Sejak belia hingga berkeluarga ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan Jmenjalankan kegiatan sehari-hari layaknya ibu desa biasa. Seperti umumnya perempuan desa yang tidak sekolah, ia hanya bisa menasehati anaknya agar tekun belajar dan tetap bersekolah.
Dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, Jumilah dipandang sebagai perempuan biasa yang tidak diberi peran sama sekali. Pada waktu itu, memang Jumilah belum memiliki keberanian dan kemampuan untuk dikontribusikan selain tenaga dalam kegiatan gotong royong. Namun tahun 2002 terjadi titik balik dalam kehidupan Jumilah.
Sebuah pertemuan yang diadakan oleh Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) menggelitik rasa ingin tahunya. Merasa berbeda dari berbagai pertemuan lain yang pernah diadakan di dusunnya, Jumilah betah mengikuti pertemuan demi pertemuan bahkan mulai merasakan keinginan yang kuat untuk berubah demi dusunnya. Jumilah pun memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan memulai sesuatu yang benar-benar baru dalam hidupnya.
Saat itu Yayasan SANTAI tengah memperkenalkan sebuah program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin pada beberapa dusun di desa Batu Layar. Sepintas program ini tidak ada bedanya dengan berbagai program pengentasan kemiskinan lain yang pernah dilakukan di desanya. Program ini menggunakan pendekatan CLAPP (Community Led Assessment and Planning Process) yang digunakan dalam perumusan dan penggalian gagasannya. Dalam program ini kesejahteraan yang ingin dicapai bukan hanya dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga, tetapi juga pemenuhan hak dasar masyarakat, termasuk peningkatan kemampuan masyarakat dalam menemukenali berbagai permasalahan dan mencari solusi mandiri berkelanjutan tanpa meninggalkan kearifan lokal.
Semakin aktifnya Jumilah dalam program, membuatnya terpilih sebagai pengurus KAHURIPAN, sebuah lembaga lokal yang menjadi media pembelajaran kewirausahaan. Ia pun mulai rajin belajar, termasuk belajar berhitung. Seiring dengan keaktifannya di KAHURIPAN, terbangun pula rasa percaya diri dan keberanian Jumilah berbicara di depan umum.
Konsistensi dan komitmen untuk terus berubah dan meningkatkan diri mendorong Jumilah mengajak beberapa temannya untuk membentuk kelompok belajar di dusunnya. Kelompok belajar ini kemudian lebih dikenal sebagai Sekolah Jumilah. Sebanyak 5 pos belajar tersebar di Dusun Duduk bawah dan Dusun Duduk Atas di Desa Batu Layar.
Murid-murid di Sekolah Jumilah adalah anak-anak yang tidak bersekolah di sekolah umum, mereka yang menikah di usia remaja, dan orang dewasa yang buta aksara. Hingga kini sebanyak 40 anak dan 10 hingga 20 orang dewasa per bulan mengikuti kegiatan belajar di sekolah ini. Awalnya, Jumilah sendiri yang mengajar baca-tulis dan berhitung, namun kini beberapa warga turut aktif mengajar di sekolah ini. Para murid tidak hanya belajar baca-tulis dan berhitung, namun kini juga diajarkan pengelolaan lingkungan hutan, peternakan, pengelolaan ekonomi keluarga, dan keterampilan usaha sederhana lainnya.
Salah satu kelompok belajar yang berada di dusun Duduk Atas telah mendapat pengakuan dari Dinas Pendidikan setempat dan rencananya akan dijadikan sebagai Sekolah Filial dimana secara administratif akan dikelola oleh pemerintah kecamatan. Selain itu siswa dewasa dan tutor kelompok belajar dapat mengikuti ujian penyetaraan melalui paket A, B, dan C.
Kelompok belajar yang memanfaatkan warga lokal sebagai tutor adalah sangat mandiri, hemat, dan efektif dalam pengembangan pendidikan alternatif dan keberlanjutannya di tingkat dusun. Kegiatan belajar tidak harus melulu dilakukan di dalam ruangan kelas, tetapi juga bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Selain itu warga dapat terpacu untuk melakukan perubahan pada dirinya sendiri, tidak hanya untuk pengembangan kapasitasnya namun juga untuk meningkatkan kemandirian ekonomi.
Tidak berhenti di pendidikan alternatif, Jumilah yang sempat menjadi orang tua tunggal karena suaminya bekerja di Malaysia, juga mendorong kesadaran sesama warga dusun untuk mulai memikirkan solusi atas krisis air bersih yang telah lama mereka alami. Dengan gayanya yang sederhana dan santun, Jumilah mendekati ibu-ibu untuk sekedar berbincang mengenai pentingnya air bersih dan bagaimana cara terbaik untuk mengadakannya di dusun mereka.
Bersama kelompok KAHURIPAN, Jumilah kemudian merintis program pengoptimalan sumber mata air dengan memanfaatkan bak-bak penampungan dan pipa untuk mendatangkan air bersih yang sangat dibutuhkan warga dusun. Secara swadaya, warga bersama tim kerja kelompok KAHURIPAN melakukan lobby baik ke sektor swasta, pemerintah, dan instansi lainnya agar lebih banyak warga yang dapat terlayani kebutuhan air bersihnya. Usaha keras ini berhasil mmendatangkan bantuan bernilai ratusan juta rupiah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih.
Hingga kini Jumilah tetap aktif dan peka dalam menangkap isu dasar yang tengah dihadapi warga di dusunnya. Bersama kelompok KAHURIPAN, ia tekun membangun dan mengembangkan jejaring untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi desanya. Semangat Jumilah telah menjadi motivasi bagi banyak warga lain di desanya untuk terus meningkatkan kemampuan diri demi perubahan positif di desanya.