Terletak 258 kilometer dari Palu, ibukota Sulawesi Tengah, Tentena adalah kota kecil yang indah dengan pemandangan Danau Poso nan hijau. Teduhnya kota Tentena membuat sulit membayangkan kondisi masyarakatnya saat konflik bernuansa SARA pecah lebih dari sepuluh tahun silam. Memang, sejak konflik di Tentena dan Poso, masyarakat merasakan trauma, ketakutan, dan terutama kecurigaan.
Pagi itu rumput basah karena hujan semalam. Kabut tipis menggantung di atas Danau Poso saat murid-murid SD GKST 3 Tentena mulai berdatangan. Sebagian sibuk membersihkan kelas, menyiram tanaman, membuang sampah.
Bel sekolah memecah keheningan pagi. Anak-anak SD GKST 3 (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) Tentena saling berlomba masuk ke dalam kelas. Perlengkapan belajar berwarna-warni terletak rapih di atas rak. Absensi kelas berupa kotak replika jam dinding masing-masing murid terpampang di depan kelas. Sesaat setelah tiba di kelas, mereka mengatur jarum panjang dan pendek replika jam tersebut sesuai dengan kedatangan mereka. Di dalam kotak replika jam tersimpan hasil tes murid. Di dinding kelas tertempel puisi, lukisan, bahkan cerpen karya beberapa murid.
Murid-murid tampak siap belajar. Sesekali senda gurau mewarnai aktivitas yang penuh semangat memulai hari. ”Dulu sebelum ada pendidikan harmoni, guru-guru suka murung dan suka memaki kalau marah. Ada juga guru yang sering memukul”, kisah Jeni, Siswa SD GKST 3 Tentena. Ia mengaku, perkelahian antara anak Pamona dengan pendatang dulu merupakan hal yang biasa. ”Kalau dulu kami biasa saling menghina, sekarang kita semua sudah akrab dan guru-guru sudah tidak kasar lagi”, lanjut Jeni.
Pendidikan Harmoni pada awalnya memang diterapkan sebagai sebuah program pemulihan pasca konflik kemanusiaan bagi anak-anak usia sekolah di Tentena, Poso dan Palu. Seiring dengan berjalannya waktu, dalam dua tahun terakhir ini, Pendidikan Harmoni bertransformasi sebagai pendekatan untuk membangun karakter anak bangsa.
Membangun karakter anak melalui pendekatan harmoni
Hasil penelitian awal WVI di Palu dan Poso tahun 2009 ditemukan bahwa pemahaman akan perbedaan suku dan agama yang ada di masyarakat masih lemah. Di Palu, 35 persen anak menyatakan tidak mau berteman dengan mereka yang berbeda agama dan 14,2 persen tidak tahu. Di Poso, 10,8 persen anak tidak mau berteman dan 15 persen tidak tahu.
Pendidikan Harmoni kemudian dipilih untuk menjadi pendidikan kontekstual dengan tujuan membangun dan mengembangkan nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial yang diintegrasikan dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal untuk memunculkan lingkungan pembelajaran yang ramah agar anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dalam penghargaan terhadap alam dan nilai-nilai lokal sambil tetap berpikir dalam skala nasional. ”Pendidikan harmoni lahir dari semangat apresiasi dalam keberagaman”, jelas Frida Siregar yang bertugas sebagai Education Officer Region Sulawesi pada Wahana Visi Indonesia.
Terdapat tiga pilar utama yang ditekankan dalam Pendidikan Harmoni, yakni harmoni diri dalam kesadaran sebagai makhluk ciptaan Sang Ilahi, harmoni sesama, dan harmoni alam. Nilai-nilai harmoni yang dikembangkan dalam harmoni diri adalah tanggung jawab, keyakinan pada ajaran agama, kepercayaan. Pada harmoni sesama nilai-nilai yang dikembangkan adalah penghargaan, kejujuran, kepedulian, dan pada harmoni alam adalah ramah lingkungan, melindungi, kewarganegaraan. ”Pendidikan harmoni sejatinya adalah pada pendidikan damai. Pendekatan ini ingin memastikan nilai-nilai perdamaian, multikulturalisme, kemanusiaan, perlindungan anak, dan hak asasi manusia terintegrasi dalam kurikulum SD,” imbuh Frida.
Pendidikan Harmoni berbasis penghargaan pada multikulturalisme yang berlandaskan Pancasila dan dikembangkan dengan pengarusutamaan nilai-nilai perdamaian dan perlindungan anak yang terintegrasi dalam kurikulum dan terimplementasi dalam proses belajar mengajar. ”Hal ini sebenarnya sangat bergantung pada kita, sebagai orang dewasa yang semestinya tidak mewariskan kepahitan dari konflik kemanusiaan itu. Biarlah anak-anak kita itu hidup di era baru,” ujar Ani Dako, Kepala Sekolah SDN 7 Poso.
Mengobati trauma, menjalin kebersamaan
Tidak mudah mengubah pola pikir dan model pembelajaran yang telah bertahun-tahun diterapkan. Awalnya Pendidikan Harmoni diterapkan pada dua sekolah model yakni SD GKST 3 Tentena dan SD 3 Muhammadiyah Palu. Di masa awal diterapkannya Pendidikan Harmoni, Wahana Visi Indonesia melakukan pendampingan, pelatihan, dan menekankan pemahaman bahwa anak adalah subyek pendidikan bukan sebagai obyek. Anak-anak perlu berada dalam situasi yang menyenangkan untuk bisa menerima pendidikan yang baik.
Para guru diminta untuk merefleksikan kembali esensi panggilan mereka sebagai guru. Mereka diingatkan bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan yang luar biasa mulia karena merekalah penentu wajah bangsa ini di sepuluh bahkan duapuluh tahun ke depan. Dari masa perenungan ini, muncullah ’guru-guru sejati’ dalam jiwa mereka. Inilah yang kelak menjadi model perubahan perilaku bagi para murid: guru-guru kreatif menggali kebudayaan lokal dan menjadi contoh perdamaian. Pribadi ’guru sejati’ ini yang kemudian membentuk karakter anak didik sehingga mampu menghargai perbedaan dengan mengimplementasikan nilai-nilai harmoni dalam proses belajar mengajar.
Berbagai dialog dan workshop yang dilakukan di masa awal melahirkan beberapa rencana strategis pengembangan Pendidikan Harmoni. ”Terdapat lima strategi yang digunakannya untuk mengembangkan pendidikan harmoni Yang pertama pengembangan kebijakan, kapasitas organisi, kemitraan, media informasi, dan pengembangan sekolah model”, jelas Fery Yulianus School of Harmony Facilitator untuk Area Development Program Palu.
Peran kepala sekolah dan guru menjadi sangat penting dalam menerapkan Pendidikan Harmoni. Kepala sekolah menentukan kebijakan di sekolah dan guru terlibat langsung dalam proses belajar mengajar. Ini karena kegiatan Pendidikan Harmoni menjadi sebuah wadah bagi guru untuk saling belajar mengenai metode pendekatan yang paling sesuai untuk pendidikan karakter bagi anak-anak. ”Kami harus pintar-pintar memilih metode, karena Pendidikan Harmoni memercayakan setiap murid untuk memberi penilaian dan peringatan bagi murid lainnya. Salah satu cara, kami sediakan papan tulis bagi murid untuk menuliskan nilai harmoni teman-temannya”, jelas Ani Tumakaka, Guru SDN Sangira, Tentena.
”Kreativitas guru adalah salah satu faktor kunci dalam Pendidikan Harmoni. Kami berupaya sedapat mungkin agar anak-anak kami dapat melakukan kegiatan positif”, ungkap Ani Tumakaka. Setelah berdiskusi dengan teman-teman guru, di kelasnya kini tersedia sudut pasar, sudut baca, botol tabungan, dan bahan peraga di dalam kelasnya agar murid-muridnya bisa tetap melakukan kegiatan positif pada jam bermain. ”Bangku-bangku juga kami atur sedemikian rupa agar murid dapat duduk berkelompok dan mereka jadi bisa banyak berdiskusi dan berpartisipasi di dalam kelas”, imbuh Ani Tumakaka.
Dukungan membangun perubahan
Dukungan bagi Pendidikan Harmoni tidak hanya datang dari pemerhati pendidikan atau Dinas Pendidikan saja. Wahana Visi Indonesia merangkul Yayasan Pendidikan Kristen Sulawesi Tengah, Muhammadiyah Sulawesi Tengah, FBO-Alkhairaat, dan Universitas Tadulako untuk menyatukan berbagai pandangan dan menentukan pengembangan kerjasama strategis di masa depan. Kemitraan berbagai pihak ini sesungguhnya adalah aset terbesar dalam pengembangan Pendidikan Harmoni, dimana Pendidikan Harmoni telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan di Sulawesi Tengah.
Tak hanya dukungan pemerintah dan mitra yang terlibat, peran orang tua juga menjadi penentu dampak Pendidikan Harmoni yang diberikan di sekolah. Komite sekolah bekerja sama erat dengan para orang tua untuk memberi pemahaman tentang pentingnya Pendidikan Harmoni bagi karakter anak di masa depan. ”Terbukti, setelah orang tua memiliki pemahaman yang sama, proses pembelajaran di sekolah menjadi lebih mudah. Bahkan bersama dengan orang tua, guru-guru mempersiapkan materi dan metode pembelajaran”, ungkap Ani Dako.
Murid-murid yang dulunya tidak nyaman bergaul dengan teman yang berbeda agama, perlahan mulai berbaur. ”Murid-murid sekarang lebih berani mengeluarkan pendapat dan mereka juga mulai menghargai perbedaan di antara mereka”, jelas Ani Dako. ”Interaksi dengan guru juga menjadi lebih baik. Sekarang sama semua guru mereka akrab, begitu pula kami dengan semua murid”, imbu Ani Dako yang merasa sangat senang melihat murid-muridnya kini bersemangat ke sekolah karena menganggap sekolahnya tempat yang menyenangkan untuk belajar.
Walaupun telah menunjukkan perubahan yang menggembirakan, pemantauan dan evaluasi tetap dilakukan oleh lembaga keagamaan yang menaungi sekolah dan korodinasi aktif antar guru. Perangkat monitoring dan evaluasi seperti baseline research dan mid term assessment terus dilakukan untuk menilai program ini termasuk mendorong replikasinya ke wilayah yang lebih luas.
Peran guru dan yayasan pendidikan yang menaungi sekolah model menjadi luas dalam mengembangkan Pendidikan Harmoni. Semakin banyak guru yang menghadiri pertemuan Kelompok Kerja Guru (KKG) yang rutin dilaksanakan setiap Sabtu di sekolah-sekolah model yang telah menerapkan Pendidikan Harmoni. Forum ini menjadi media saling belajar sekaligus mengimbaskan pendekatan Pendidikan Harmoni ke beberapa sekolah yang belum menerapkannya. ”Dari pertemuan rutin ini, dalam waktu tiga tahun, telah ada tujuh sekolah model di Palu, empatbelas di Poso, dan duapuluh enam sekolah imbas”, tutur Fery Yulianus. ”Saat ini Wahana Visi Indonesia mulai mempersiapkan pembentukan sekolah model pada tingkat SLTP”, imbuh Fery.
Dukungan juga datang dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah yang mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 39/2011 tentang Pendidikan Karakter Kebangsaan Berbasis Multikultural. Dalam peraturan ini disebutkan Pendidikan Harmoni sebagai bentuk pendidikan karakter di Sulawesi Tengah. ”Peraturan yang menjadi payung hukum perlindungan dan kesejahteraan anak ini juga dapat sangat membantu proses replikasi ke seluruh daerah di Sulawesi Tengah”, jelas Frida Siregar yang berharap komitmen Pemerintah ini dapat segera diimplementasikan. ”Saat ini Pendidikan Harmoni telah direplikasi di Maluku Utara tepatnya di Ternate dan Halmahera Utara”, tutur Frida sambil tersenyum bangga.
“Dari pengalaman kami membangun dan mengembangkan Pendidikan Harmoni di Sulawesi Tengah, kami belajar bahwa banyak harapan yang bisa dicapai bila dikerjakan bersama-sama”, ungkap Ani Dako. ”Yang penting kita jangan menyerah, berhenti berpikiran negatif, dan terus berkarya. Mulai dari yang kecil, mulai dari menyemangati orang, pelan-pelan hasilnya akan luar biasa”, pungkas Ani Dako.