Sulawesi Utara mengalokasikan anggaran sektor kesehatan, dengan lebih masuk akal dan tepat sasaran.
Pulau Siau, di Kabupaten Sitaro Sulawesi Utara merupakan salah satu wilayah terjauh dari pusat ibu kota Provinsi. Jika musim sedang teduh, tak berombak, jarak tempuhnya dari Manado sekitar 4 jam menggunakan kapal feri. Jika musim ombak, jarak tempuhnya bisa dua kali lipat. Atau bahkan kapal tak beroperasi.
Dermaga pulau Siau cukup besar. Setiap hari, orang-orang selalu ramai hilir mudik, saat akhir pekan kapal selalu penuh. Pulau ini adalah salah satu penghasil pala terbaik di Indonesia bersama Banda Neira di Maluku. Siau dalam catatan perdagangan masa Hindia Belanda dikenal sebagai Pulau Ringgit.
Populasi penduduk pulau Siau tergolong padat. Setidaknya sekitar 65 ribu orang mendiami pulau seluas 275,96 kilometer persegi ini. Dengan gunung api Karangetang yang menjulang tepat di tengah pulau, penduduk Siau tentu perlu mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal.
Tidak hanya di pulau Siau Kabupaten Sitaro, pemerintah provinsi Sulawesi Utara bersama empat kabupaten lainnya, Bitung, Sangihe, Minahasa Utara dan Minahasa, sejak 2008-2010 telah membuat konsep perhitungan pelayanan kesehatan Ibu, Bayi dan Anak yang dilengkapi dengan perhitungan anggaran yang sangat detil.
Pada 2010-2011 pola ini mulai dijalankan, yang melahirkan konsep DAK Like (seperti DAK) untuk Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan (BKKKes). Anggaran dari Provinsi langsung diserap ke Kabupaten dan Kota. Dan pada tahun 2014, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Kesehatan mengadopsi sistem ini.
Menghitung pengeluaran
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Sulawesi Utara periode 2010-2013, Noldy Tuerah cukup resah ketika membaca pengajuan anggaran dari masing-masing Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD). Setiap tahun, permintaan anggaran hanya dinaikkan 10 persen.
“Saya tanya ke beberapa SKPD (Satuan Perangkat Kerja Daerah), kenapa meminta alokasi dana, misalkan 100. Kenapa bukan 500 atau kenapa tidak 50,” kata Noldy
“Memang begitu pak. Setiap tahun kan naik 10 persen,” kata beberapa kepala SKPD.
Atas dasar inilah, menurut Noldy, beberapa program di SKPD tidak pernah selesai. Perencanaan yang tepat sesuai anggaran dan konsep yang jelas, tak pernah dilakukan. Akhirnya bersama lembaga mitra Basics – lembaga non pemerintah yang konsen pada pengembangan pelayanan dasar – memulai konsep penghitungan untuk pelayanan kesehatan Ibu, Bayi dan Anak.
Untuk membuat konsep penghitungan secara detil, dalam tim ini bergabung ahli ekonomi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan beberapa akademisi lain dari berbagai kampus di Sulawesi Utara. Analogi mereka sederhana, selama ini melalui Bappenas konsep kebutuhan untuk pembiayaan, pada anak untuk pendidikan dasar sembilan tahun, dari sabang Pulau Weh sampai Merauke. Dari Miangas sampai pulau Rote, Standar Pelayanan Minimal (SPM), disamakan dengan yang ada di Jakarta.
Ironisnya, selama ini, pemerintah belum pernah menghitung anggaran secara detail dalam setiap wilayah. Akhirnya tim perumus, memilih pelayanan kesehatan Ibu, Bayi dan Anak. Dalam perhitungan mereka, ditemukan sekitar 157 unit cost yang harus diakomodir.
Kenapa pertama kali diujicobakan pada Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak? Karena komponen biaya (cost) yang paling banyak adalah dalam pelayanan kesehatan Ibu, Bayi dan Anak yaitu sebanyak 157 unit cost. Apalagi untuk pendidikan paling hanya puluhan item. Jadi ini yang paling ribet dan sulit dihitung, jadi selebihnya yang lebih sederhana akan dengan mudah dihitung. Yang paling sulit saja bisa digunakan.
Selama ini, anggaran dari Provinsi ke kabupaten A misalnya. Digunakan Kabupaten secara diskresi (kebebasan mengelola uang), silahkan mau digunakan untuk apa uang tersebut. Namun dengan perhitungan yang matang, tidak ada diskresi lagi.
Akhirnya melalui diskusi panjang, tim perumus kemudian menghitung besaran anggaran biaya ibu hamil dalam satu tahun hingga kunjungan puskesmas empat kali. Perhitungan juga memasukkan masa nifas ibu melahirkan selama 40 hari. Jadi perhitungan untuk setiap orang adalah sembilan bulan – atau sejak diketahui hari pertama kehamilan – ditambah 40 hari pasca melahirkan. Tahapan ini pun dibagi menjadi empat, pertama masa hamil, masa persalinan, kondisi komplikasi misalnya pendarahan dan atau operasi, dan masa nifas.
Masa nifas juga menjadi elemen paling penting, karena menyangkut kesehatan si anak. Kemudian ditemukanlah angka minimal sebesar 1,5 juta rupiah, dengan asumsi patokan harga rata-rata diambil dari data tahun 2010 dan disimulasikan di tahun 2011.
Sebelumnya angka rata-rata seperti ini tak pernah ada. Bahkan beberapa daerah menerapkan angka dibawah standar minimal itu. “Kami menemukan ada yang cuma Rp300 ribu, itu sudah paling bagus sudah. Tadinya tidak ada yang mereka (pemerintah kabupaten) anggarkan untuk itu,” kata Oswald Tumilaar, salah seorang anggota tim.
Tak hanya itu, tim ini juga menghitung seluruh komponen peralatan medis, baik yang digunakan berulang kali, ataupun penggunaan sekali pakai seperti jarum suntik. Setelah itu dibandingkan pula, dengan daerah yang jangkauannya sulit. Misalnya di Talaud atau di Bolaang Mongondow, berbeda dengan harga satuan di Manado. Maka muncullah indeks aksesibilitas plus tambahan jarak. “Indeks inilah sebenarnya proxi antara jarak dan biaya,” kata Noldy.
Indeks aksessibilitas ini, memberikan variasi cost. Jadi logikanya semakin jauh dari jarak ibukota provinsi, maka anggaran akan semakin besar.
Perhitungan ini juga membuat data penghitungan semakin baik, sebab menembus hingga ke kecamatan. “Kenapa memilih perhitungan per kecamatan? Karena Puskesmas logikanya selalu ada di Kecamatan,” jelas Noldy.
Tak hanya di Puskesmas, tim perumus pun mendatangi desa dan mewawancara bidan desa. Perincian sekecil apapun kemudian dimasukkan. Misalkan, beberapa tenaga kesehatan tak memiliki bidan kit. Padahal alat ini sangat diperlukan untuk melakukan pertolongan pertama. “Kami menemukan, rupanya bidan kit ini digunakan secara bergantian. Saling pinjam,” kata Patrick C Wauran, anggota tim perumus lainnya.
“Inilah yang jadi masalah. Ada ibu yang tidak bisa ditolong karena alatnya sudah kurang. Misalnya benang atau pisau dipinjam. Jadi kita masukkan itu karena alat wajib, sampai kapas pun kita hitung,” lanjut Patrick.
“Jadi selama ini, anggaran hanya dinaikkan 10 persen, untuk safety cost saja. Tidak sesuai kebutuhan. Itulah yang selama ini didengungkan pemborosan. Seharusnya – mungkin saja – tidak tambah 10 persen atau mesti kurangi 5 persen, akhirnya positive thinking tidak terserap. Kalau tidak digunakan, itulah yang menjadi Silpa (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran). Atau kalau tidak habis anggarannya, ya dibuatkan program supaya terserap,” kata Noldy.
Apa beda DAK Like dan DAK Nasional
“DAK Nasional, penganggarannya seragam. Kan berbeda kebutuhan di Takalar (salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan) dan di Sitaro (salah satu Kabupaten di Sulawesi Utara). Tapi dalam kacamata Jakarta, itu semua sama,” kata Noldy.
Menurut dia, DAK Like yang saat ini dilaksanakan oleh provinsi Sulawesi Utara – melalui APBD – dan menjadi percontohan untuk seluruh kawasan Indonesia, memiliki tingkat penganggaran yang sangat rinci. Sistem ini, juga membentuk permintaan anggaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ilustrasinya, jika Kabupaten dan Kota mengajukan anggaran kesehatan, maka syaratnya adalah melampirkan hitungan dan perincian yang tepat. Sebab, provinsi juga telah memiliki hitungan yang jelas. Jika sudah demikian, anggaran akan diajukan tidak berdasarkan kenaikan per tahun, dan akan mengurangi resiko kelebihan atau pun kekurangan anggaran.
Sistem penyaluran anggaran DAK Like ini, melalui Badan Pengelola Keuangan dan Barang Milik Daerah (BPK-BMD) kemudian langsung ke kabupaten dan kota. Dinas Kesehatan Provinsi, hanya melakukan pengawasan dan meng-approve permintaan anggaran, namun tidak mengelolanya.
Sistem inilah yang kemudian dinilai sebagai penghematan prosedural. Tidak berliku-liku. “Inilah yang kami katakan sebagai perubahaan perilaku,” kata Noldy.
Dengan model penganggaran seperti ini, maka akses terhadap pelayanan kesehatan di setiap wilayah dapat dipastikan tidak terjadi penyeragaman suplai bantuan untuk memenuhi kebutuhan daerah yang beragam.
Mekanisme yang dibuat jelas dan tegas ini, dilengkapi dengan penatausahaan, monitoring evaluasi, dan pelaporan model akuntansi untuk pertanggungjawabannya.
Dana BKKKes yang menjadi bagian dari APBD ini, juga membagi peran. Seperti Dinas Kesehatan Provinsi akan berperan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan. Dan bersama BPK-BMD provinsi bertanggung jawab menyusun petunjuk teknisnya.
Sistem dalam penganggaran ini jugalah yang kemudian melahirkan Peraturan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 16 tahun 2013 tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara tahun 2013-2015.
Sebagai seorang ekonom dari Universitas Sam Ratulangi, Patrick C Wauran, mengatakan BKKKes adalah inisiatif sangat baik dan sangat apresiatif. Menghitung anggaran dan meminimalkan pemborosan anggaran. Artinya Perda akan menguatkan sistem pelayanan ini. “Dengan adanya anggaran yang jelas, ibu hamil harus dilayani dengan baik pula,” katanya.
Bantuan USG Portable dan Bidan Kit
Fitria Husin, seorang guru sekolah dasar di desa Lia, Pulau Siau, membagi cerita kehamilannya yang ketiga dengan penuh semangat. Sembari menyandarkan punggungya di dinding rumah. “Nanti mau melahirkan baru saya ke Manado. Sekarang tidak begitu khawatir karena di Puskesmas sudah ada USG untuk lihat tiap saat perkembangan janin,” katanya.
Bukan tanpa alasan Fitria mengisahkan kesenangan dan ketenangannya dalam menghadapi kehamilannya itu. Jarak desa Lia dengan pusat kota di Siau cukup jauh, menggunakan kendaraan roda empat bisa 1,5 jam. Itu jika kondisi jalan tidak basah. Namun, bila hujan, jalan aspal yang kecil dengan pendakian yang curam bisa mengakibatkan mobil tak dapat beranjak dari tempatnya.
“Dua tahun lalu, sebelum jalan bagus. Kami membawa pasien melalui laut. Pakai perahu. Sampai di darat kami pikul pasiennya menuju puskesmas,” kata Bidan Desa, Engelista Rusye Mumba.
Bidan Engel begitu sapaannya, telah mengabdi di desa Lia sejak 1997. Dengan penuh keterbatasan, dia mengunjungi pasien berjalan kaki, dengan bantuan ojek, atau bahkan dengan perahu. Membawa bidan kit dan memeriksanya secara manual. “Waktu itu diagnosanya dengan manual, sekarang dengan adanya bantuan USG, diagnosa bisa semakin akurat,” katanya.
Hal yang sama pun dirasakan Kepala Puskesmas desa Ondong, Elsje Kuheba. “Waktu belum ada USG, diagnosa kita mungkin tidak seakurat sekarang. Anda bayangkan, jika seorang ibu harus dirujuk dan terlambat, dan untuk menuju Manado atau Bitung, bisa tiga jam, kalau siang. Kalau malam bagaimana,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Sitaro, Ria M Papalapu, mengatakan BKKKes membantu kabupaten menentukan kebutuhannya yang paling mendesak, bukan berdasarkan keinginan.
Tahun 2015, Kabupaten Sitaro mendapatkan anggaran melalui BKKKes sebanyak Rp1,1 miliar. Anggaran tersebut dialokasikan untuk USG portable di lima Puskesmas, bidan kit di 13 Puskesmas, dan sprayer untuk membunuh jentik nyamuk demam berdarah.
Tak hanya bantuan alat kesehatan, tenaga medis pun mendapatkan penambahan pengetahuan melalui pelatihan untuk dokter dan bidan. “Jadi peralatan ada, maka pengetahuan untuk sumber daya manusia juga harus ditingkatkan,” kata Ria.
Mengusahakan Perda
Mengantisipasi masa berlaku Pergub 2013-2015, tim perumus bersama lembaga mitra Basics, melalukan pertemuan dengan DPRD Sulawesi Utara. Pada November 2013, pokok-pokok pikiran mengenai Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) disetujui DRPD dan dimasukkan dalam daftar prolegda.
Menurut Noldy, Perda menjadi dasar hukum yang paling kuat untuk terus menggulirkan sistem ini. Dia menganggap Pergub tidak begitu kuat, karena kepemimpinan bisa saja berganti dan setiap pemimpin memiliki cara kerja dan visi misi yang beda pula. Perlu ada Perda yang mengatur agar penganggaran sektor kesehatan lebih efektif.
Kepala Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, yang sebelumnya juga menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, Maxi Rondonuwu, berpendapat sama mengenai adanya Perda Kesehatan. Menurut dia, Perda kesehatan akan membuat tenaga-tenaga medis meningkatkan kemampuan, karena masyarakat semakin paham, mekanisme dan pelayanan yang harus diterima, khususnya Ibu, Bayi dan Anak.
Data lain yang diungkapkan Maxi Rondonuwu, sebanyak 186 Puskesmas di Sulawesi Utara, hanya sekitar 10 persen yang mengerti dan memahami administrasi yang baik. Hal lain dengan adanya Perda Kesehatan adalah membuat sikap saling percaya antara masyarakat dan petugas kesehatan akan semakin baik. “Ada banyak petugas kesehatan hingga pejabat pemerintahan, yang menjadikan kesehatan sebagai lahan pendapatan. Itu kan tidak benar,” kata Maxi.
Jadi, tim perumus BKKKes ini mendekati DPRD Sulawesi Utara dengan pengajuan Perda Kesehatan. Selama ini, aturan dan sistem BKKKes ini menjadi yang terbaik dan dianggap sebagai terobosan pemerintah provinsi yang paling membanggakan. “Saya kira hanya Sulawesi Utara yang melakukan sistem seperti ini,” kata Noldy.
Selama beberapa kali pertemuan dengan DPRD Sulawesi Utara, sambutan hangat selalu diterima. Menurut beberapa anggota DPRD, yang diceritakan ulang Noldy, sangat menyukai konsep BKKKes. “Jadi harapan kami, sebelum tahun 2015 ini berakhir dan masa jabatan Gubernur selesai, Perda Kesehatan yang didalamnya ada BKKKes disetujui,” kata Noldy.