Di kepulauan Raja Ampat, anak-anak menghabiskan waktunya bermain di pesisir. Mereka berlari di pasir, melompat, menyelam, berenang, dan memanjat pohon bakau. Laut adalah rumah dan halaman. Jadi menjaga laut adalah menjaga tempat tinggal.
Perkenalkan Kapal Kalabia. Kapal dengan tonase 121 GT dan panjang 32 meter, lambungnya dipenuhi grafiti bergambar hewan-hewan laut. Ada lumba-lumba, terumbu karang, penyu, dan tentu saja ada kalabia. Sejatinya, Kalabia adalah sebutan Suku Maya, penduduk asli Raja Ampat, untuk hiu bambu (Chiloscyllium punctatum atau walking shark). Jenis hiu endemik Papua Utara ini bisa berjalan di dasar laut dengan siripnya. Hari itu, Kalabia berlabuh dengan anggunnya di sebuah kampung bernama Kasim Sele di Pulau Kasim. Kalabia menjadi nama sebuah kapal pendidikan koservasi yang memiliki ruang pertemuan, perpustakaan, peralatan audio visual, dan 24 tempat tidur. Kegiatan pendidikan konservasi di atas kapal ini pertama kali diinisiasi oleh Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy (TNC) sejak Februari 2008 dan Kampung Saonek di Kabupaten Raja Ampat menjadi lokasi pertama yang dikunjungi Kapal Kalabia. Kampung Saonek luasnya 4.000 meter persegi dan berpenduduk 544 jiwa atau 129 Kepala Keluarga. Di Saonek, rumah-rumah penduduk berdiri berdempetan dan terlihat cukup padat.
Kalabia melakukan perjalanan dari pulau ke pulau di Kabupaten Raja Ampat dengan misi pendidikan konservasi. Ia membawa tenaga pengajar, buku-buku, dan peralatan bermain serta memberikan pemahaman pada anak-anak di sana tentang lingkungan mereka, tentang ekosistem laut, terumbu karang, pantai dan mangrove. Awak Kalabia semua adalah orang lokal: anak buah kapal (ABK) hingga tenaga pengajar. Jumlah ABK Kalabia adalah tujuh orang dan tenaga pengajarnya lima orang. Motto Kalabia adalah Berlayar Sambil Belajar. Dalam setiap kali trip, Kalabia membutuhkan sekitar 20 hari. Kalabia singgah di setiap kampung selama 3-5 hari. Hingga tahun 2012, Kalabia telah mengunjungi semua kampung di kepulauan Raja Ampat dan menjangkau sekitar 6000 anak. Besarnya biaya operasional yang mencapai 100 juta rupiah dalam sekali trip pernah membuat program Kalabia hampir terhenti sejenak pada tahun 2012. Tapi, tingginya semangat para pengajar dan ABK Kalabia, berahasil mendorong terlaksananya kembali program pendidikan konservasi pada akhir 2012. Beruntung, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo 2) Tanjung Priok Jakarta, berkomitmen membantu dengan anggaran sebanyak 27 miliar rupiah selama lima tahun. Di tahun yang sama, Kalabia yang semula menerima dukungan dari Conservation International dan The Nature Conservancy memulai kerja sama dengan pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Kalabia pun bertransformasi menjadi lembaga independen bernama Yayasan Pendidikan Kalabia.
Berbagi ilmu untuk penjaga laut masa depan
Di Kapal Kalabia, puluhan anak Sekolah Dasar terlihat mengikuti kegiatan belajar di geladak. Mereka sedang menikmati senja sebelum orang tua mereka mencari dan memintanya pulang ke rumah. “Saya suka Kalabia. Saya suka belajar disini,” kata Yunus Seim siswa kelas 5 SD Negeri 48 Kasim Sele. Dalam mengemban misi pendidikan konservasi, Kalabia memfokuskan kegiatan belajar-mengajar pada siswa Sekolah Dasar Kelas 4 dan 5. Mengapa Kalabia membagi pengetahun pada anak-anak usia Sekolah Dasar? “Mereka adalah generasi muda yang pada 20 tahun mendatang akan bekerja dan menjadi pengambil kebijakan. Dan anak-anak ini harus memiliki wawasan lingkungan yang baik,” kata Albert Nebore, salah seorang pendiri Yayasan Kalabia. Data yang dirilis Conservation International melalui beberapa peneliti yang telah mengunjungi Teluk Cendrawasih, Kepulauan Raja Ampat, dan Teluk Kaimana menunjukkan tingginya keanekaragaman laut di daerah-daerah tersebut, dimana terdapat setidaknya 1.700 jenis ikan karang. Hasil pendataan biota laut menunjukkan terdapat 1.500 jenis ikan karang dan 600 jenis terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat saja. Jumlah tersebut adalah sekitar 75 persen dari seluruh terumbu karang yang ada di dunia.
Raja Ampat adalah jantung dari segitiga terumbu karang dunia dan di masa depan, anak-anak ini adalah penjaganya ~ Albert Nebore.
Pengetahuan akan ancaman yang dihadapi laut dan kehidupan di dalamnya inilah yang disebarkan Kalabia bersama dengan pengetahuan akan peran penting mereka bagi keseimbangan ekosistem dan keberlangsungan hidup manusia. Para pengajar Kalabia mengajak anak-anak menyelam, mengenali terumbu karang, bermain di pantai dan mangrove serta mengenal beragam tumbuhan dan satwa yang hidup di sana.
Ancaman bersembunyi di balik keindahan Raja Ampat
Memandang keindahan bukit-bukit karst Raja Ampat yang menyembul dari laut nan biru dari puncak Piainemo, mengingatkan pada idiom: Tuhan menciptakan kepulauan Raja Ampat saat tersenyum. Namun perjalanan yang menyita waktu selama tiga jam dengan speed boat dari Sorong ke Piainemo terhenti beberapa kali karena baling-baling perahu terbelit sampah plastik. Tidak sedikit sampah plastik terlihat mengapung di permukaan laut sepanjang perjalanan mengitari Raja Ampat. Sampah ini berupa kemasan makanan ringan hingga botol minuman. “Inilah yang menjadi kekhawatiran kami di Saonek kami hanya tahu membakar sampah, belum ada tempat sampah dan tempat pembuangan akhir sampah. Namun saat ini sudah dianggarkan dalam rencana desa untuk pembuatan tempat sampah di sepanjang jalan,” kata Sekretaris Desa Saonek, Muhammad Syahrir. Tingginya keanekaragaman hayati di Raja Ampat juga menghadapi ancaman yang tinggi. Pertama adalah desain infrastruktur, seperti pembangunan akses jalan yang berada di pesisir. Pesisir yang landai atau yang berbukit dengan banyak singkapan tanahnya, akan mengakibatkan longsoran-longsoran kecil, yang muaranya akan ke laut dan mengancam kehidupan terumbu karang. Kedua, ilegal logging atau pembukaan lahan yang masih sangat tinggi yang berdampak pada meningkatnya aliran sedimen sungai yang terbawa ke laut. Ancaman lainnya adalah praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan racun. Dalam satu kali bom ikan, ukuran 600 ml saat terjadi ledakan akan menghancurkan radius dua meter persegi dan dampaknya hingga 10 meter persegi. “Jadi kalau ada 100 bom ikan, bisa dibayangkan berapa luas kerusakan yang ditimbulkan. Laut kita akan menjadi padang pasir,” kata Albert. Tak dapat dipungkiri, tingginya keanekaragaman hayati dan tingkat kunjungan wisata serta terbukanya akses ke Raja Ampat berkontribusi pada semakin dibutuhkannya pengelolaan sampah dan pengelolaan wisata yang ramah lingkungan. Kalabia melihat hal itu, maka dalam kurikulum pengajarannya pengelolaan sampah dan konservasi ekosistem menjadi bagian penting.
Menciptakan model belajar anak-anak pulau
Belajar dengan alam terbuka sambil bermain merupakan model belajar yang digemari anak-anak. Di Kalabia, anak-anak yang belajar sambil bernyanyi dan bermain. Di Kasim Sele, sekitar 30 anak terlihat begitu bersemangat mengikuti kegiatan di Kapal Kalabia dari pagi hingga sore. Hal-hal yang dipelajari di Kapal Kalabia ada dalam sebuah Buku Saku Kalabia atau Buku Paspor Kalabia. Buku Paspor Kalabia dibagikan kepada semua anak yang belajar di Kapal Kalabia. Di dalamnya terdapat materi pengenalan jenis biota laut dan ekosistem, pengelolaan sampah, materi aktivitas siswa, seperti mewarnai, teka-teki, dan beberapa lagu. Anak-anak dapat membandingkan biota laut yang ditemuinya langsung saat menyelam dengan gambar yang ada di buku Paspor Kalabia. Anak-anak juga dapat membaca informasi tentang bahaya yang dapat ditimbulkan sampah plastik terhadap terumbu karang dan biota laut lainnya, seperti teteruga atau penyu. “Teteruga pikir kantong plastik itu ubur-ubur, makanan kesukaannya,” jelas Marina Kamousum, seorang pengajar yang akrab disapa Mery. Mereka memainkan permainan menjadi terumbu karang. Sebanyak enam orang anak dibungkus kain yang berlobang, tangan mereka yang menggunakan kaos tangan bergoyang seperti mengepal dan membuka. Begitulah cara terumbu karang hidup dan mendapatkan makanan. Yodias Abraham kelas 5 SD Negeri 48 Kasim Sele, sangat menikmati permainan itu. “Tidak bosan toh. Kita tidak duduk terus di bangku,” katanya. Menjelang pukul 15.00 kelompok belajar anak-anak ini, mulai menggambar. Setiap anak diberikan satu kaos putih, kuas dan pensil. Yunus Seim siswa kelas 5 SD Negeri 48 Kasim Sele, dengan penuh hati-hati menggoreskan pensilnya di atas permukaan kain. Ia menggambar ikan dan bintang laut. “Saya suka ikan, enak dimakan. Dan banyak,” katanya. “Apakah kau akan menjaga ikan di laut?” “Dijaga toh. Yang besar boleh dimakan, yang anak tra boleh,” kata Yunus Seim.
Model belajar ini akhirnya dilirik beberapa orang. Pada tahun 2011, beberapa peneliti kelautan dari Brasil menyambangi Kalabia. Para peneliti itu belajar dan mulai mengadopsi kurikulum belajar untuk anak-anak pesisir di Brasil. Sementara lembaga WWF yang beroperasi di Teluk Cendrawasih juga mengadopsi sistem kerja Kalabia. WWF menggunakan kapal-kapal kecil dan mendatangi pulau-pulau dan menyambangi anak-anak untuk menyebarkan pengetahuan. Tak hanya itu, beberapa provinsi di Indonesia, juga telah merencanakan model pembelajaran yang sama di daerah masing-masing. “Kita adalah negara maritim, maka sudah selayaknya kita memperkuat peningkatan Sumber Daya Manusia kita di wilayah kepuluan. Bukan menganak-tirikannya,” kata Albert.
Dampak kehadiran Kalabia
Pengenalan akan bahaya sampah kepada anak-anak, pelan-pelan membawa perubahaan. Di kampung Sawingrai, masyarakat bersama tokoh adat membuat aturan. Warga atau pengunjung yang kedapatan membuang sampah sembarangan akan mendapatkan denda sebesar 50 ribu rupiah. Hal lain juga terjadi pada 2011, saat sebuah festival diadakan di salah satu kampung di kepulauan Raja Ampat. Beberapa pengunjung yang hadir karena kegerahan meneguk air mineral dalam kemasan. Dan sisa botolnya dibuang ke laut. “Tiba-tiba ada adik-adik yang spontan melompat ke laut. Mengambil botol plastik itu,” kata Mery. Kisah lain juga terjadi di kampung Warwanai. Saat seorang nelayan menangkap seekor penyu dan mengurungnya di pinggir pantai. Anak-anak yang melihatnya dengan mengendap-endap pada malam harinya membuka kurungan dan melepaskan penyu itu kembali ke laut. Pada pagi hari, si nelayan melihat penyu sudah hilang, lalu mencari tahu dan mendapati pelakunya adalah anak-anak sekolah. Sambil bercanda, Mery berkisah, “Jadi bapak nelayan itu, melapor ke kepala kampung. Karena penyu yang dengan susah ditangkap dilepaskan begitu saja oleh anak-anak.” Kepala kampung akhirnya memanggil anak-anak yang melakukannya. Dalam sidang kampung itu, kepala kampung bertanya. “Kenapa melepas penyu,” katanya. “Kenapa penyu ditangkap. Nanti kalau penyu habis, siapa lagi yang makan ubur-ubur di laut,” kata anak-anak itu dengan polos. “Kata kaka-kaka di Kalabia. Penyu itu baik tidak jahat.”