“Rasa merdeka ada air ini.”
H.M Tahir, Chairman of the Asih Tigasa Village-managed Water Company/ Ketua BAPAMDES Asih Tigasa
Air bersih adalah sebuah kemerdekaan, kemerdekaan yang bermanifestasi sebagai kesehatan yang lebih baik, produktivitas yang meningkat, resolusi konflik, dan standar kehidupan yang lebih baik bagi seluruh anggota masyarakat. Kisah tentang air bersih di Lendang Nangka dimulai pada tahun 1976 saat UNICEF memperkenalkan pipanisasi, membawa air langsung dari sumbernya ke desa, yang berjarak sekitar 1.800 meter. Air ditampung dalam 8 tangki dan masyarakat datang untuk mengambil air dari tangki-tangki tersebut. Saat itu pungutan biaya yang dikenakan adalah Rp. 1.500 per keluarga namun tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan atau perbaikan sarana ini.
Lendang Nangka dikeliling oleh beberapa mata air; sebuah mata air yang terdekat bahkan digunakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Lombok Timur untuk mengalirkan air ke lima kecamatan, namun Lendang Nangka sendiri tidak mendapatkan akses ke layanan PDAM tersebut. Karenanya pada tahun 2002, masyarakat memutuskanuntuk melanjutkan sarana pengairan yang dibuat oleh UNICEF dulu dan membentuk Perusahaan Air berbasis desa, yang kemudian mereka namakan Perusahaan Air Minum Desa (PAMDES) ‘Asih Tigasah ‘. Pertemuan awal dihadiri oleh beberapa kelompok masyarakat dan prosesnya berjalan terbuka dan transparan sejak awalnya, sebuah fakta yang terus diidentifikasi oleh para pemangku kepentingan sebagai kunci keberhasilan dari PAMDES.
Masyarakat memulai pembangunan sebuah bak penampungan baru dan pipa-pipa baru pada akhir tahun 2002. Masyarakat mengerjakan sendiri seluruh pekerjaan, termasuk menggali drainase sedalam dua meter untuk meletakkan pipa. Seluruh kegiatan didanai oleh masyarakat, dengan sumbangan awal untuk membeli 280 water meter dari BAPPEDA Kabupaten Lombok Timur, sistem fisiknya sendiri dibentuk tiga bulan kemudian. Satu dari kekuatan utama sistem ini adalah aturan, tata laksana, dan penggunaan dana yang jelas. Kesemuanya ini disusun dan disepakati oleh masyarakat melalui serangkaian sesi konsultasi. Pada tahun 2005, keberadaan PAMDES menjadi lebih formal dengan diterbitkannya Peraturan Desa (Keputusan Kepala Desa Lendang Nangka Nomor 01 dan 02 Tahun 2005).
Dimulai dengan 502 kepala rumah tangga, kini pada tahun 2010 PAMDES menyalurkan air kepada 744 kepala keluarga. Setiap pelanggan PAMDES memiliki water meter (yang dapat digunakan bersama dua atau tiga keluarga) dan tarif yang dikenakan adalah Rp. 200 per kubik meter, nilai yang jauh lebih murah dibandingkan tarif PDAM Rp. 600 – 700. Pada mulanya tarif yang ditetapkan adalah Rp. 100 namun dinaikkan pada tahu 2010 setelah konsultasi publik. Rata-rata setiap keluarga membayar Rp. 10.000. Dari uang yang terkumpul (biasanya Rp. 6-7 juta per bulan), sebesar 45% diberikan untuk masjid desa Lendang Nangka. Setiap bulan, laporan keuangan dibacakan dalam ibadah shalat Jumat. Lalu Gafar Ismail, yang pertama mengusulkan ide penggunaan water meter, berkata,”Dengan demikian, di mata masyarakat air menjadi ‘milik’ masjid dan karenanya tidak seorang pun yang akan mencuri dari masjid”. Ia melihat ini sebagai sebuah keunikan dari PAMDES. Selebihnya uang yang terkumpul digunakan untuk pengelola, dana desa, badan perwakilan desa, dan biaya administrasi.
Pengelola PAMDES (kesemuanya berjumlah 12 orang) tidak menerima gaji, namun mendapatkan insentif atau persentasi dari total pembayaran yang terkumpul setiap bulan. Ini berarti setiap orang mendapatkan Rp. 50.000. Juga terdapat sebuah tim ‘pengawas’ yang biasanya disebut dengan Tim 9, terdiri dari sembilan orang yang bertanggung jawab menyelesaikan berbagi hal terkait keterlambatan pembayaran. Walaupun kasus-kasus terlambat membayar ini jarang terjadi karena adanya denda yang lebih besar dari nilai iuran, biasanya pelanggan biasanya berhenti membayar. Dalam hal ini mereka biasanya diberikan surat peringatan dan jika masih tidak melakukan pembayaran, suplai airnya akan dihentikan sampai mereka melakukan pembayaran kembali.
PAMDES diketuai oleh Haji M. Tahir, seorang pensiunan guru sekolah berumur 80 tahun. Ia sering kali ingin menyerahkan tanggung jawab ini kepada anggota masyarakat yang lebih muda agar ada regenerasi namun masyarakat terus memint kesediannya menjadi Ketua PAMDES. Tidak seorang pun pengurus PAMDES pernah mengikuti pelatihan formal. Semuanya belajar sendiri atau mengaplikasikan keterampilan yang mereka pelajari di sekolah atau dari pengalaman mengelola koperasi namun ini tidak menghalangi mereka dalam menyediakan layanan yang luar biasa baik.
Berbagai laporan mengenai kebocoran atau gangguan suplai air dapat langsung dikirimkan melalui telepon genggam kepada bagian pemeliharaan, yang biasanya dalam beberapa jam akan langsung melakukan perbaikan. Pembayaran iuran harus dilakukan sebelum tanggal 20 setiap bulan, dan staff administrasi bertugas mulai dari jam 8 sampai 12 siang di kantor yang terletak di pusat desa untuk menerima dan mencatat pembayaran, berdasarkan buku pencatatan meteran air. Untuk ini ada seorang petugas pencatat meteran air di setiap wilayah.
Ada banyak manfaat dari perusahaan air ini. Pertama, perusahan ini berhasil mengurangi derajat konflik masyarakat atas sumberdaya air. Kedua adalah manfaat kesehatan. Beberapa anggota masyarakat melaporkan gangguan pencernaan dan penyakit kulit akibat penggunaan air yang tidak bersih. Air yang disalurkan PAMDES diperiksa secara teratur oleh Pusat Kesehatan Masyarakat dan terbukti memiliki derajat kontaminasi yang sangat rendah. Indrawati, seorang petugas kesehatan di Puskesmas Lendang Nangka menyatakan, “dengan adanya PAMDES, kami melihat peningkatan tingkat penggunaan sarana MCK. Dahulu, tidak adanya air menjadi alasan masyarakat untuk tidak menggunakan sarana MCK”. Ia juga melaporkan penurunan kasus gangguan pencernaan. Pada kenyataannya Puskesmas Lendang Nangka lebih memilih menggunakan layanan air bersih PAMDES ketimbang PDAM karena suplai air PDAM sering kali macet.
Manfaat lain dari adanya PAMDES adalah lebih terbukanya peluang usaha rumah tangga, termasuk usaha cuci mobil dan motor serta pembuatan es. Seorang ibu, Baiq Rauhun, memiliki usaha pembuatan es yang meraup keuntungan sebesar Rp. 300.000 sebulan. Ia membuat es batu dan es manis untuk dijual di beberapa toko di sekitar tempat tinggalnya. Ketua PAMDES, Pak Tahir juga melihat ada manfaat bagi lingkungan hidup. “Sebelumnya masyarakat boros menggunakan air bersih, misalnya untuk membuat kolam ikan dan menyiram kebun, sekarang masyarakat lebih bijaksana menggunakan air bersih”.
PAMDES Asih Tigasa tidak lagi menerima pelanggan baru karena keterbatasan daya tampung reservoir. Ini adalah tantangan terbesar bagi pengembangannya ke depan; pembuatan bak reservoir baru membutuhkan biaya sebesar Rp. 100 juta. Walaupun demikian, pembuatan bak reservoir baru juga harus memeprtimbangkan pengguna lain yang menggunakan air dari sumber yang sama untuk irigasi. Saat ini penggunaan air bersih untuk desa dan irigasi cukup berimbang.
Sejauh ini pemeliharaan belum menjadi masalah. Dari sekitar 300 meter pipa yang ada, hanya 20 meter yang telah diperbaiki atau diganti. Untuk mengganti meteran air, pelanggan membayar sebesar 40% dari total biaya dan sisanya dibayar oleh PAMDES. Walaupun nanti pipa-pipa yang ada harus diganti, namun saat ini isu kebocoran masih belum menghawatirkan. Sayangnya proses pembukuan PAMDES ini seluruhnya masih menggunakan cara manual dan pengelola berharap kelak dapat melakukan komputerisasi pembukuan. Sebagai usaha tambahan, PAMDES berkeinginan untuk melakukan usaha produksi air minum kemasan (air galon) utuk dijual ke desa-desa tetangga.
Desa-desa lain di sekitar Lendang Nangka mencoba menerapkan sistem serupa, seringkali dengan harga yang lebih tinggi. Namun belum ada satu pun yang mampu menciptakan sistem terpadu seperti yang dilakukan Lendang Nangka.