Laut adalah ladang utama untuk nelayan, mereka menjaganya dengan hati.
Nelayan di Pulau Tomia, satu dari gugusan pulau-pulau Wakatobi, menjaga lautnya dengan hati. Mereka menandai wilayah tertentu yang dijadikan Bank Ikan. Menjaga dan merawat. Dua kegiatan ini dilakukan nelayan Tomia di Bank Ikan sejak sebelas tahun silam. Tak ada yang memancing, membuang jala, memasang pukat, apalagi melempar bom di sana.
Sepintas konsep ini mirip dengan sasi – kearifan lokal masyarakat di Papua. Mereka mengatur wilayah tertentu untuk mengambil hasil laut, juga mengatur waktu dan cara tertentu memanen hasil laut. Bila melanggar, terkena hukum adat. Tentu saja cerita Bank Ikan bukan hanya itu.
Konservasi Dipicu Musibah dan Degradasi Lingkungan
Hasman, seorang nelayan, menyandarkan punggungnya di kursi plastik. Ia menghela nafasnya dengan pelan. “Sampai tahun 1999, saya bukan pengebom ikan biasa yang hanya pake botol. Saya pake jerigen dan daya ledaknya sangat besar,” katanya memulai cerita. “Jadi sekali meledak, ribuan ikan mati mengambang. Bukan hanya ikan, ular juga banyak yang mati,” lanjut Hasman.
Hasman menggunakan bom ikan karena tergiur tangkapan yang banyak. Pada masa itu, ia hanya melihat peluang yang ada. Tak ada pikiran tentang kerusakan laut akibat bom yang dilemparnya. Namun petaka terjadi di tahun 1999. Saat Hasman dan seorang kawannya memanjat pohon bakau. Di bawah pohon itu, ratusan ikan terlihat berenang dengan bebas. Titik strategis untuk melakukan pemboman. Akhirnya, jerigen yang sudah dimodifikasi menjadi bom ledak, diaktifkan.
Hasman, berpindah ke pohon lainnya untuk memastikan kondisi benar-benar ideal untuk menjatuhkan bom. Tiba-tiba, bom itu meledak, namun tak ada semburat dari air laut. Melainkan meledak di atas pohon. Bom yang telah dibuang berbalik karena mengenai ranting dan menghancurkan tubuh temannya berkeping-keping. “Hati saya hancur waktu pulang membawa jenazah teman saya. Saya kehabisan kata-kata saat berhadapan dengan keluarganya. Sejak itu saya putuskan berhenti melakukan pemboman,” kata Hasman.
Hal lain dirasakan Abas – Ketua Komunto – sebelum melakukan inisiasi dalam penyelamatan sumber daya alam. Ia adalah seorang nelayan jaring lingkar. Pada dekade 1980-1990 hanya ada satu armada yang menggunakan jaring lingkar di pulau Tomia. Jaring lingkar adalah sistem penanaman jaring dengan pukat, seperti memasang perangkap lalu ditarik dengan kapal.
Abas termasuk salah seorang ABK kapal pukat. Saat itu, mata jaring yang digunakan Abas cukup lebar, ikan-ikan kecil atau anakan ikan tidak akan tertangkap. “Kami menggunakan jaring yang terseleksi. Bukan jaring yang bisa menangkap semua jenis ikan,” kata Abas.
Namun, banyaknya ikan di laut Tomia atau pada umumnya di sekitaran Wakatobi membuat nelayan-nelayan lain tergiur memasukinya. “Tahun 1990 awal hingga jelang tahun 2000, ada banyak kapal dari daerah luar yang masuk, jika bersandar di dermaga itu penuh,” lanjutnya.
“Jaring lingkar mereka tak terseleksi mengangkut semua ikan. Besar dan kecil, berbagai jenis. Kongsi dagang mereka dengan pengusaha pun lebih bagus. Hasil tangkapan kami kadang-kadang tak terbeli,” kata Abas. Sementara nelayan tradisional yang menangkap ikan hanya mengandalkan alat pancing semakin terpinggirkan dan menjadi penonton. “Pelan-pelan beberapa pengusaha menggunakan tenaga mereka, memberikan bahan bom, potasium dan racun,” kata Abas.
La Asiru yang akrab disapa Bapak Tua, merasakan kesemrawutan dan kesedihan yang sama. Tahun 1999 ketika pulang kampung dari Ambon karena terjadi konflik, ia melihat kampungnya porak poranda. Dalam hati ia marah sendiri. “Praktek ini harus dihentikan,” ujar La Asiru.
Berdaulat: Mimpi Kelompok Nelayan di Wakatobi
Atas perasaan senasib dan sependeritaan, Abas, La Asiru dan beberapa nelayan lainnya membentuk kelompok-kelompok nelayan kecil di setiap desa. Ada yang beranggota 5 hingga 20 orang. Diskusi dilakukan setiap saat dan semakin efektif.
Tahun 2004, kelompok nelayan membangun kontak dengan setiap warga yang berada di pelosok pulau Tomia. Kemudian di tahun yang sama, The Nature Coservation (TNC) membangun kerjasama dan meminta perwakilan-perwakilan kelompok untuk mengikuti seminar dan diskusi mengenai Hak Asasi Manusia.
Dan seperti menemukan tombol kehidupan. Abas mengatakan pelatihan itu membuat mata dan pikiran beberapa nelayan terbuka. “Sejak saat itu, kami ingin berdaulat di kampung sendiri,” katanya.
Setelah pelatihan, kelompok-kelompok nelayan terbentuk dengan mandiri. Jumlahnya mencapai 28 kelompok di seluruh pelosok pulau Tomia. Pada 16 Maret 2006, gabungan kelompok nelayan ini bersepakat membentuk Komunitas Nelayan Tomia yang disingkat menjadi Komunto. Komunto menjadi induk dan pengawas dalam keberlanjutan kelompok nelayan di desa.
Dalam bahasa setempat, Komunto juga diartikan sebagai saringan untuk memisahkan racun dan sumber pangan. Sementara logonya adalah Gurita, dengan banyak tangan dan tentakel dimana-mana. “Gurita ibaratnya, kami ingin mencengkram dunia dan dengan siapapun kami ingin bergaul dan saling merangkul,” kata Abas.
Ketika Komunitas Nelayan Mendirikan Bank Ikan
Tepat setelah Komunto berdiri pada tahun 2008, kelompok nelayan Lakomai, Tau-tau dan Para-para, menginisiasi gerakan untuk menentukan area dan lokasi yang tak dapat diganggu gugat, sebuah tempat untuk pembenihan ikan. Mereka menamai tempat itu Bank Ikan untuk menggambarkan fungsi wilayah dimana mereka ‘menabung’ ikan.
Pada tahun 2012, Bank Ikan kedua ditetapkan di wilayah Desa Kulati. Bank ikan ini luasnya sekitar 600 meter persegi, berada di sisi tebing yang curam. Waktu mecoba menyelam terlihat jelas karang yang subur dengan aneka warna. Rombongan ikan berenang dengan bebas, sungguh memanjakan mata. “Dulu tempat ini menjadi tempat favorit para pembom, sekarang perlahan-lahan kami merawatnya. Kami ingin kembali seperti dulu. Memancing dan berenang dengan ikan,” kata Bapak Tua.
Lalu mengapa di Bank Ikan tidak boleh ada penangkapan? Jawabnya, sederhana. “Ikan itu berenang kemana-kemana. Jika sudah dewasa dia akan meninggalkan tempatnya. Jadi nelayan boleh memancing di luar wilayah bank ikan. Jika ada yang kedapatan menangkap ikan di wilayah Bank Ikan, kami akan memintanya keluar,” kata Bapak Tua.
Tak hanya menjaga Bank Ikan, kelompok-kelompok nelayan juga menjaga wilayah laut lainnya dengan hati. Jika ada suara bom atau informasi tentang adanya penggunaan racun dan potasium, Komunitas Nelayan Tomia beramai-ramai melakukan operasi. Mendatangi tempat kejadian dan mengusir pelaku.
Kredit konservasi
Tak hanya menjaga sumber daya laut, nelayan di Pulau Tomia saat ini mengembangkan sistem koperasi berbasis lingkungan. Namanya Kredit Konservasi. Koperasi ini cukup unik. Setiap anggota nelayan yang mengajukan pinjaman harus memberikan jaminan. “Tapi jaminannya bukan sertifikat rumah seperti di bank-bank ya,” kata Bapak Tua.
Pada beberapa batang pohon kelapa dan pohon jambu mete di belakang dan samping rumahnya tertempel cap bertulis 3K Kredit Koservasi Kulati. Pohon dengan cap seperti itu adalah jaminan pinjaman dalam koperasi. “Jadi selama saya belum melunasi pinjaman, pohon dan semua jaminan ini tidak boleh ditebang dan wajib dijaga. Tidak boleh mati,” kata Bapak Tua.
Sama seperti yang dikatakan Abas tentang membangun kebiasaan dalam menjaga alam. “Kalau terbiasa menjaga, pasti akan menjaga terus,” katanya.
Kredit konservasi melebarkan kegiatannya dengan semakin giat menjaga Bank Ikan. Di Desa Kulati, nelayan dan warga menyepakati aturan adat untuk sistem penebangan pohon dalam kampung. Kayu bakar tak boleh diambil semena-mena.
Tomia adalah pulau dengan dominan batu. Jika setiap orang dengan serampangan menebang pohon, kapan bisa hijau ini tempat. Begitulah pikiran sebagian besar warga. “Jika ada desa tetangga yang minta tolong untuk mengambil kayu bakar, maka yang mencari dan mengambil kayu adalah warga desa Kulati. Tidak boleh orang lain. Nanti mereka menebang sembarangan,” kata Bapak Tua.
Sinergi dengan Taman Nasional
Taman Nasional Wakatobi Seksi 3 meliputi Pulau Tomia dan Binongko. Kepala Taman Nasional Wakatobi Seksi 3, Siti Wahyuna mengatakan, Komunto sangat membantu petugas taman nasional. “Kami selalu bersama, nelayan dan aparat kepolisian saat melakukan operasi. Kami bersama-sama menjaga laut sebagai sumber kehidupan,” katanya.
Keberadaan Bank Ikan menurut Siti Wahyuna, membangun hubungan yang sangat baik. Selama ini, wilayah yang ditempati masyarakat untuk mencari ikan dan beraktivitas adalah zona pemanfaatan dalam sistem zonasi taman nasional. Namun, dengan adanya inisiatif wilayah perlindungan bank ikan, menjadikan zona khusus perlindungan dengan sendirinya. “Ini adalah inisiatif yang sangat baik karena muncul dari masyarakat bukan dari pemerintah,” katanya.