Minyak jelantah menjadi persoalan yang kompleks, telah diketahui sejak lama namun tak memiliki jalan keluar. Di Kota Makassar setidaknya sebanyak 17 ton minyak bekas pakai atau minyak jelantah dapat dihasilkan setiap hari dari rumah tangga, hotel, restoran, dan pabrik makanan. Ini tentu soalan lingkungan yang sangat serius.
Di tangan pihak yang tak bertanggung jawab, minyak jelantah ini kemudian berubah wujud menjadi minyak goreng curah berwarna lebih jernih setelah dicampurkan dengan H2O2 (hydrogen peroxida) dan dipanaskan. “H2O2 itu adalah racun. Kami biasa menggunakannya untuk bahan bakar roket cair. Minyak bekas pun sudah beracun. Jadi racun bercampur racun. Inilah yang banyak di konsumsi masyarakat,” kata Andi Hilmy Mutawakkil yang kerap disapa Hilmy.
Hilmy adalah seorang anak muda, mahasiswa antropologi di Universitas Negeri Makassar. Ia melakukan beragam penelitian ilmiah sejak SMA dan saat itu bercita-cita membuat sumber energi terbarukan.
Bersama Andi Haswawi, kawan karibnya di Kabupaten Pangkep, mereka melakukan berbagai percobaan untuk menguji berbagai metode mengubah minyak jelantah menjadi biodiesel. Setamat SMA, kelompok peneliti ini menyelesaikan riset dan memulai usaha energi terbarukan di Makassar.
Setelah mendapatkan suntikan modal sebanyak 3,5 juta rupiah, mereka mulai memproduksi biodiesel. Bahan bakunya diperoleh dari penjual gorengan pinggir jalan. Sebanyak 30 liter minyak jelantah diolah menghasilkan 30 liter biodiesel juga.
Berbekal modal dari kocek masing-masing dan setumpuk kenekatan, Hilmy, Fauzi, Aswawi, dan memulai usaha yang mereka sebut super keren karena bergerak dibidang energi.
Beragam tantangan dihadapi demi usaha super keren ini. Untuk membangun sebuah perusahaan biodiesel, dibutuhkan pabrik skala besar, modal yang besar dan perputaran uang yang bergerak cepat. Kumpulan anak muda yang merasa keren ini tak kenal lelah mendekati beragam institusi untuk mendapatkan modal yang dibutuhkan. Tentu saja, ini bukanlah hal yang mudah.
Berkali-kali Hilmy dan kawan-kawan melakukan presentasi mengenai rencana perusahaan. Banyak yang tertarik dengan konsep besar mereka. Tapi dua syarat utama, minimal usia 21 tahun dan berstatus sudah menikah, membuat nama mereka yang masih berusia 19 tahun saat itu tercoreng dari list penerima dana dukungan dari beragam institusi perbankan.
Hilmy dan kawan-kawan percaya, ada seribu jalan ke Roma. Hubungan antar perkawanan adalah salah satunya. Enam orang kemudian bergabung di awal 2015. Pada bulan Maret di tahun itu, perusahaan atas nama GenOil itu akhirnya berdiri setelah berhasil menghimpun 500 juta rupiah dari kawan-kawan yang memberi dana 100 juta rupiah, tanah, motor, mobil, laptop, termasuk menggadaikan barang berharga.
Mengandalkan Preman
Kapasitas produksi pabrik GenOil saat baru berdiri dapat mencapai 2 ton per hari, namun kenyataan produksinya 500 liter per hari. Karena pasokan bahan baku yang tersedia tidak sebanyak kapasitas pabrik menghasilkan biodiesel.
Walaupun minyak jelantah banyak dihasilkan dari rumah tangga, restoran dan hotel, dan industri makanan lainnya, ternyata tidak mudah mendapatkannya untuk dipasok sebagai bahan produksi ke pabrik.
Agustus 2015, di saat yang sama dengan riset kebutuhan BBM di Kota Makassar, GenOil memasuki wilayah Paotere tiga kali dalam sepekan. Mereka ertemu banyak anak muda sebaya yang tak memiliki kegiatan. Salah satunya adalah Adi.
Adi adalah anak muda yang bermukim di wilayah Daya. Dia menjadikan Paotere sebagi tempat berkegiatan, tempat mengaktualisasi diri. Ia dan 25 kawannya merupakan anak muda bebas dengan akses pendidikan yang minim. Preman adalah label yang dilekatkan oleh masyarakat kepada Adi dan kawan-kawan.
Menjadi preman berarti juga menyandang stigma malas dan menjadi sampah masyarakat. Tapi GenOil memiliki pandangan yang berbeda. Di mata GenOil, tak ada seorang pun yang benar-benar badung, setiap orang dewasa menginginkan pekerjaan dan kepercayaan.
Adi dan teman-teman kemudian menjadi bagian penting dari tim lapangan GenOil. Mereka pemasok minyak jelantah.
Saat itu, GenOil akhirnya kerjasama dengan Dompet Duafa untuk memberikan modal kerja. Setiap orang akan mendapatkan keuntungan seribu hingga dua ribu rupiah per liter dari minyak jelantah yang dipasok ke pabrik GenOil. Tim Adi menghasilkan hingga 3 juta rupiah setiap bulan dari hasil kerja pengumpulan minyak jelantah.
Berkawan dengan Nelayan
Untuk memastikan kebutuhan pasar akan biodiesel yang dihasilkan, GenOil melakukan riset kebutuhan bahan bakar minyak lokasi lainnya di Kota Makassar. Hasilnya ditemukan tinggnya permintaan nelayan atas Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Di Kawasan Pelabuhan Tradisional Paotere, Makassar, setiap harinya Pertamina memasok 16 Kilo Liter BBM bersubsidi, sementara kebutuhan nelayan saat itu sebanyak 30-40 kilo liter. Saat itu harga bahan bakar solar non-subsidi bisa mencapai harga 10 ribu rupiah per liter. Untuk nelayan kapasitas mesin 2 GT, kebutuhan bahan bakarnya adalah sebesar 100-200 liter per hari.
Tingginya harga bahan bakar minyak dan sulitnya mendapatkan bahan bakar bersubsidi, mengurungkan nelayan untuk pergi melaut. Tidak sedikit nelayan yang beralih menjadi buruh bangunan dan pekerja kasar lainnya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saat GenOil menawarkan biodiesel seharga 5 ribu rupiah per liter. Tak ada seorang nelayan pun yang percaya.
Nelayan tak memandang penting status bahan bakar ber-Standar Nasional Indonesia (SNI). Apalagi bahan bakar ramah lingkungan. Bagi nelayan, bahan bakar berubah warna saja akan menjadi persoalan bagi mesin kapal. Selama ini solar subsidi yang dari pemerintah kuning agak kebiru-biruan. Sementara produk GenOil kuning murni.
Mereka pun kemudian menggunakan pendekatan berbeda guna meyakinkan nelayan: berkawan akrab dengan nelayan. Perlahan, GenOil memberikan informasi kepada nelayan.
Biodiesel selain ramah lingkungan, juga menjadi bahan bakar yang hemat biaya. Perbandingannya jika menggunakan solar penuh, untuk 1 liternya hanya mampu menjangkau jarak 800 meter. Bagi nelayan anggota GenOil, jika menggunakan biodiesel penuh 1 liter bahkan mampu mencapai jarak lebih dari 1 kilometer.
Untuk mendapatkan kepercayaan nelayan, mereka meminta para nelayan mencoba saja dulu menggunakan biodiesel GenOil, kalau mesin kapal rusak akan diganti. Ajaib, nelayan menyambut baik.
“Jika masalah bahan bakar bagin nelayan ini bisa ditangani dengan baik, saya kira di masa mendatang, profesi nelayan Indonesia tidak akan menjadi langka,” kata Hilmy. Kini setiap hari GenOil membawa pasokan biodiesel ke nelayan Paotere, melayani sekitar 33 kelompok nelayan. Jumlahnya antara 1.000-2.000 liter per hari.
Dukungan yang Meluas
Saat ini GenOil sudah mampu menghasilkan 1.300 liter per hari biodiesel. Nilai aset perusahaan telah mencapai 1,3 miliar rupiah dan omsetnya sudah mencapai 300 juta rupiah per bulan.
Inovasi GenOil tidak berhenti sampai di situ.
Dengan kesadaran baru untuk membangun energi baru terbarukan berbasis masyarakat, Gen Oil memperluas jangkauan kepada anak-anak sekolah SD, SMP, dan SMA serta gerakan ibu PKK dan Dharma Wanita. Gerakan ini mendapatkan dukungan dari Bripda Muhammad Ihsan Hakim, seorang Babin Kamtibnas dari Polsek Wajo, Makassar.
Di Sekolah Dasar Sangir, Jalan Sangir, GenOil memberi penyadaran akan bahaya dari mengonsumsi makanan yang digoreng dengan menggunakan minyak jelantah. Mereka menghimbau para siswa untuk mengingatkan orang tuanya agar tidak lagi menggunakan minyak goreng bekas dan tidak membuang sisa minyak goreng ke selokan.
Siswa diminta mengumpulkan minyak jelantah dari rumah ke sekolah. Minyak jelantah ditampung ke dalam jerigen sekolah dan dibeli oleh GenOPil dengan harga 2.500 rupiah per kilogram. Uang hasil penjualan dapat dimanfaatkan sekolah untuk membiayai beragam kegiatan ekstrakulrikuler.
Metode yang sama juga diterapkan GenOil kepada ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan BMKG Sulawesi Selatan. “Teman-teman GenOil datang sebagai pembawa solusi. Selama ini, ada banyak ibu-ibu yang tak tahu bagaimana memperlakukan sisa minyak goreng,” kata Roro Yuliana Radjab, anggota Dharma Wanita Persatuan BMKG Sulawesi Selatan.
Bagi Hilmy, ini inovasi demi inovasi akan terus dilakukan dengan semangat untuk tetap menjadi bagian dari upaya menyelamatkan lingkungan, menjaga kesehatan, dan memanfaatkan energi baru terbarukan. Potensinya ada di depan mata dan bisa dikerjakan bersama.