Keseharian Amirudin kini bisa dijalaninya dengan lebih santai dan tenang. Dia kini punya beberapa usaha tambahan yang bisa dikerjakan dengan aman dan nyaman, yaitu jadi pembudidaya madu kelulut (stingless bee), beternak sapi, ayam, dan bebek. Di sela-sela waktu lainnya dia gunakan menjadi pengumpul pasir, berkebun, atau jadi kuli tebas semak-semak untuk lahan pertanian, dan rumah, jika ada warga yang meminta. Baginya pekerjaan tersebut sudah cukup bisa diandalkan untuk menghidupi keluarganya yang sederhana.
“Saya lebih baik bekerja begini. Tidak merasa was-was, dan lebih tenang. Dulu saya pembalak liar yang menebangi pohon-pohon besar di gunung, karena tidak punya pilihan dan keterampilan lain selain menebang. Tapi sekarang memegang chainsaw saja saya malu sekali,” jelasnya.
Enam tahun yang lalu Amirudin dikenal sebagai salah satu pembalak kayu upahan di Taman Nasional Gunung Palung (Tanagupa), Kalimantan Barat di desanya Gunung Sembilan, Kecamatan Sukadana. Sebenarnya bukan dia saja yang berprofesi menjadi pembalak liar kayu hutan (illegal logger), hampir semua laki-laki di desanya – bahkan 80% warga desa penyangga Tanagupa, melakukannya. Mereka menebang memang bukan untuk kebutuhan industri atau skala besar. Melainkan hanya untuk memenuhi permintaan jika ada warga yang memesan kayu untuk mendirikan rumah. Tapi jika dilakukan secara massal dan sering, jelas mengancam ekosistem keseluruhan Tanagupa.
Kawasan Gunung Palung diresmikan menjadi Taman Nasional sejak 1990 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 448/Menhut-VI/1990, dengan luas ± 90.000 hektar. Taman nasional ini terbentang di Kecamatan Matan Hilir Utara, Sukadana, Simpang Hilir, Nanga Tayap, dan Sandai dan mempunyai ekosistem yang dikatakan sebagai yang terlengkap di antara taman-taman nasional di Indonesia. Di dalam kawasan ini menjulang Gunung Palung yang mempunyai ketinggian 1.116 mdpl.
Tanagupa memiliki keanekaragaman hayati yang khas dan unik, seperti orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) yang jumlahnya diperkirakan kini ada 2.200 ekor, bekantan (Nasalis larvatus), 68 jenis mamalia (seperti beruang madu, rusa, babi hutan, landak, linsang, dan sebagainya), tupai kenari (Reithrosciurus macrotis) dan satwa yang tergolong sangat langka, 236 spesies burung Kalimantan diantaranya burung enggang (Bucerotide), burung pelatuk (Picidae).
Tanagupa juga memiliki lebih dari 4000 jenis tumbuhan berkayu (70 jenis family Dipterocarpaceae). Teristimewa lagi memiliki anggrek hitam (Coelogyne pandurata) yang hanya bisa dilihat pada Februari-April di Sungai Matan.
“Lebih dari itu kawasan ini merupakan daerah tangkapan air yang penting untuk Kalimantan Barat, dan khususnya kawasan penyangganya. Satu ekosistem rusak, jelas akan memengaruhi kehidupan manusia secara luas. Terutama masyarakat desa-desa di sekitar Tanagupa,” jelas Kepala Balai Tanagupa Himawan Sasongko.
Tentu saja pekerjaan menjadi pembalak liar, tidak lagi menjadi pekerjaan aman dan nyaman bagi Amirudin dan para pembalak liar Tanagupa yang marak sejak 2007 – 2017. Selain mereka harus main “kucing-kucingan” dengan petugas, pekerjaan tersebut sebenarnya beresiko tinggi.
Amir menceritakan, untuk menebang satu pohon kayu raksasa tua setinggi 10-30 meter dengan diameter hingga 100-200 cm ke atas, seperti pohon Nyatoh yang tua setidaknya diperlukan dua penebang dan alat chainsaw yang kuat. Mendapatkan pohon Nyatoh yang gagah perkasa ini pun tidak mudah. Para pembalak liar ini harus melalui vegetasi hutan lebat berkontur naik turun dan curam. Itu sebabnya mereka tidak bisa menebas jika musim hujan tiba. Terlalu licin dan bahaya. Sangat tidak memungkinkan juga mereka membawa dan mengolah satu pohon tersebut turun ke desa.
Para pembalak liar di Tanagupa saat itu memang lebih mengincar pohon kayu bernilai tinggi, yang mungkin mereka tidak tahu sesungguhnya langka. Selain Nyatoh, ada Bengkirai, Meranti, Ulin, Ubah, Medang, dan Keladan. Pohon-pohon besar ini adalah bagian penting dalam ekosistem Tanagupa yang keberadaannya menjadi tempat bergantung “penghuni” hutan Tanagupa.
“Sebenarnya tidak besar juga tambahan penghasilan dari memotong kayu di hutan, apalagi tambah resikonya tinggi. Tapi saat itu belum ada alternatif tambahan untuk menambah penghasilan kita yang terbatas ini,” jelas Arifin yang orang tuanya asli Madura ini.
“Lalu kami mendengar ada Yayasan ASRI (Alam Sehat dan Lestari) yang bisa membeli chainsaw kami agar berhenti menjadi pembalak, dan membantu mencari alternatif penghasilan. Saya mendapat informasi ini dari sesama teman pembalak yang chainsawnya sudah dibeli ASRI, dan mereka dicarikan usaha lain. Saya pikir, saya mau hidup tenang, lebih baik saya jual chainsaw ke ASRI dan memulai usaha baru,” jelas Amirudin.
Amirudin pun bertemu dengan Agus Nofianto, Koordinator Chainsaw Buyback, Yayasan ASRI. Chainsaw-nya dibeli Yayasan ASRI dengan harga 4 juta rupiah. Namun tidak serta merta uang diberikan, kecuali Amirudin juga bersedia menghentikan kebiasaannya dari menebang. Bukan hanya itu saja, Agus dan tim juga mendampingi Amirudin dalam menjalankan usaha barunya termasuk dalam memberikan kapasitas pengelolaan keuangannya.
“Kami memberikan pendampingan dan peningkatan kapasitas penuh kepada semua mantan pembalak liar yang tobat, dan memilih usahanya sendiri. Termasuk Amirudin,” jelas Agus yang asli Solo dan bekerja di ASRI sejak 2017 ini.
Amirudin pun bisa mengajukan pinjaman sebesar 6 juta rupiah ke Yayasan ASRI untuk mengembangkan usahanya. Dari 3 log sarang lebah madu kelulut yang dikelolanya ternyata berkembang dengan baik usaha produksi madunya. Bahkan dia bisa membeli 9 log sarang kelulut lainnya. Sejak 2020, dia telah menghasilkan kurang lebih 100 botol madu ukuran 250 ml yang dijualnya seharga 100 ribu rupiah per botolnya. Bukan itu saja dia pun mengembangkan usahanya lagi dengan beternak bebek.
Setelah pinjaman pertamanya lunas terbayar, dia kembali meminjam modal sebesar 7 juta rupiah dari ASRI untuk menambah ternak dua ekor sapi. Kini dari hasil usaha ini hidupnya jauh lebih terjamin. Karena semuanya menghasilkan secara tetap. Dia pun bisa menyekolahkan anak, membangun rumahnya secara perlahan.
“Saya tidak perlu lagi ke hutan untuk menebang pohon. Gimana pun hutan harus dijaga biar tidak menimbulkan bencana alam. Saya tidak ingin anak-anak saya ke depan mengalami musibah karena hutan rusak,” tandas Amirudin.
Perubahan hidup lebih baik juga dialami oleh Arifin bersama kelompoknya yang mengelola lahan pertanian organik seluas 10 hektar yang dikerjakan bersama 11 anggota aktifnya. Setelah sempat tertunda lama sejak mereka berhenti menjadi pembalak liar 2017, dan tidak melakukan pertanian secara berpindah dan tebas bakar seperti yang mereka lakukan selama ini.
Chainsaw Buyback merupakan salah satu item dari program Konservasi Yayasan ASRI selain Reboisasi; Monitoring dan Evaluasi (kawasan hutan); Sahabat Hutan; Pertanian Organik; dan Kambing untuk Janda. Beragam program tersebut diinisiasi ASRI guna memastikan masyarakat yang tinggal di daerah penyangga Tanagupa juga bisa terlibat langsung dalam menjaga dan melestarikan Tanagupa, termasuk mencari alternatif penghasilan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka. Kegiatan ini merupakan kerjasama dari Balai Tanagupa, sehingga terjadi sinergitas yang bukan hanya sekedar melindungi kawasan tetapi juga memanusiawikan masyarakat yang hidup berdampingan dengan Tanagupa.
Sejak 2017, Yayasan ASRI telah membeli 254 chainsaw dari pembalak liar yang tobat di desa-desa sekitar Tanagupa. Sehingga keberadaan 47 ribu jenis pohon di dalam kawasan Tanagupa sebagai penopang hidup bisa terus berdiri kokoh, menjaga keseimbangan alam, dan tetap menjadi daerah tangkapan air yang penting bagi desa-desa di sekitarnya, bahkan di seluruh Kalimantan Barat.
Planetary Health untuk Manusia dan Alam yang Sehat
Kegiatan konservasi ini merupakan bagian dari pengembangan program ASRI yang telah dirintis sejak tahun 2007. Saat itu dr. Kinari Webb, pendiri Yayasan ASRI, sangat prihatin dengan ancaman hutan yang marak saat itu. Sebagai seorang ahli biolog dan periset di Tanagupa seringkali mendengar bunyi chainsaw dari dalam belantara. Ia merasa risau karena itu menandakan banyak pohon kayu berharga penopang hidup ekosistem Tanagupa yang sedang ditebang.
dr Kinari Webb kembali ke Kalimantan Barat pada tahun 2007 dan mengajak drg. Hotlin Ompusunggu, pendiri ASRI lainnya, untuk mengembangkan planetary health di sana. Planetary health adalah sebuah konsep yang mengupayakan keselarasan antara kesehatan alam dan kesehatan manusia. Kesehatan manusia dan kesehatan alam saling terkait dan tak terpisahkan.
Guna mencari tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat mereka melakukan radical listening. Metode ini dinilai sangat efisien dalam menggali perspektif masyarakat mengenai solusi yang tepat dan dibutuhkan agar tidak lagi melakukan pembalakan liar.
Mereka menghabiskan 400 jam dalam setahun untuk mengumpulkan dan menganalisa jawaban masyarakat atas pertanyaan ‘mengapa melakukan pembalakan liar, bagaimana dunia harus berterima kasih kepada mereka agar mereka tetap menjaga kelestarian hutan?’.
“Ternyata jawaban paling banyak adalah mereka melakukan pembalakan liar untuk biaya pengobatan jika ada keluarga mereka yang sakit. Saat itu belum ada puskesmas atau rumah sakit terdekat. Jalanan juga masih sangat buruk. Jadi jika ada yang sakit harus ke kota, dan mereka harus melalui jalan yang tidak sebagus sekarang. Bisa memakan waktu seharian hanya untuk menuju rumah sakit yang ada di Ketapang. Jadi biaya berobat itu mewah dan sangat mahal, hal itu yang menyebabkan pembalak liar saat itu menjadi sangat marak,” jelas dr. Tika, Direktur Klinik Yayasan ASRI.
Warga juga menjawab, jika mereka harus berhenti merambah hutan, mereka membutuhkan mata pencaharian semisal pertanian, dan usaha lainnya yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka. Masukan dari warga kemudian dikembangkan menjadi program konservasi yang kemudian mengantarkan Amirudin sukses mengembangkan ternak madu kelulut, sapi dan unggasnya. Begitu pula dengan Arifin dan kelompoknya dalam mengembangkan pertanian organik tanpa berpindah dan membakar.
Memulai Konservasi dengan Klinik Kesehatan
Yayasan ASRI lebih dahulu menjalani program kesehatan masyarakat sebelum konservasi. Mereka mendirikan Klinik kesehatan di Desa Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat pada tahun 2007. Menyelaraskan kesehatan manusia dan kesehatan alam inilah yang kemudian menjadi misi dari Yayasan ASRI untuk membumikan konsep planetary health.
Pasien yang datang berobat ke Klinik ASRI bisa membayar biaya pengobatan menggunakan bibit yang jumlahnya dihitung sesuai dengan jumlah pembayaran berobatnya. Tentu saja bibit-bibit yang bisa dijadikan alat bayar adalah bibit pohon kayu, dan pohon produktif seperti jengkol, durian, dan sejenisnya, dengan kisaran harga yang telah ditentukan Tim Reboisasi ASRI.
Tidak berhenti sampai di situ, para pasien juga bisa menyimpan bibit-bibit pohon sebagai tabungan biaya pengobatan mereka di masa depan. Deposit bibit pohon mereka juga bisa digunakan oleh orang lain yang memerlukannya selama yang memiliki deposit bibit ini mengizinkannya.
“Saya pernah mendeposit bibit pohon senilai 20 juta rupiah. Kenapa saya mau mendeposit bibit sebanyak itu? Karena saya merasa berobat di Klinik ASRI nyaman dan percaya dengan analisa dokter dan obat-obat yang diberikan. Termasuk sekalian saya bisa membantu memperbaiki hutan,” jelas Sabariah, seorang warga Sukadana, yang sering berobat ke Klinik ASRI.
Selain membayar dengan bibit, ASRI juga menerima pembayaran tunai untuk masyarakat yang tidak memiliki BPJS. Terutama untuk wilayah-wilayah tertentu yang langsung beririsan dengan Tanagupa. ASRI memberikan diskon harga dari 25-70% pada warga yang desa atau dusunnya tidak memiliki indikasi kegiatan deforestasi.
Indikator kegiatan deforestasi yang dimaksud adalah desa atau dusun tersebut tidak ada lagi kegiatan illegal logging, tidak ada tumpukan kayu logging, tidak ada jalan logging, tidak ada pengolahan kayu seperti penggergajian (sawmill atau circle) dan kini akan ditambah tidak ada kegiatan menanam sawit di area beririsan dengan Tanagupa. Jika kategori tersebut dipenuhi semua, maka dusun atau desa tersebut masuk dalam kategori hijau. Artinya seluruh warga desa kategori hijau ini bisa berobat ke ASRI dengan voucher diskon hingga 70 persen. Tapi jika hanya tiga macam indikator saja yang ditemukan, maka para warga desa atau dusun tersebut hanya akan mendapatkan diskon 50 persen.
Semakin banyak indikator yang menunjukkan terjadinya kegiatan deforestasi, maka voucher diskon berobat hanya bisa diberikan maksimum 25-30 persen saja. Jadi jika ada satu saja warga masih melakukan kegiatan illegal logging, maka akan berakibat pada seluruh warga. Jadi masyarakat sendiri akhirnya yang akan saling mengingatkan dan memberikan sanksi sosial bagi warganya yang masih nakal.
“Skema pembayaran ini justru memicu kesadaran kolektif di kalangan masyarakat sendiri. Karena jika kita ingin menyelamatkan lingkungan, maka ini harusnya jadi tanggung jawab bersama. Apalagi kalau hutan rusak yang terkena dampaknya lebih dahulu yah desa atau dusun yang berdekatan langsung dengan Tanagupa. Jadi ada semangat warga menurunkan indikator deforestasi di desanya,” jelas dr. Tika yang asli Semarang ini.
Status indikator ini (merah, hijau, kuning) selalu dipantau dan diperbaharui informasinya oleh Sahabat Hutan dan dilaporkan ke klinik sehingga bagian administrasi klinik memiliki catatan dan daftar desa dan dusun dengan kategori hijau, kuning, merah tersebut. Selain skema pembayaran yang berbeda dan arahnya berkontribusi untuk penyelamatan hutan, layanan kesehatan ASRI tidak hanya melingkupi satu wilayah saja. Mereka melayani hampir di semua desa penyangga di sekitar Tanagupa, dalam hal ini meliputi Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.
Reboisasi dan Pemberdayaan Perempuan
Membayar dengan bibit ini membuat masyarakat sekitar Tanagupa kini melihat bibit-bibit pohon sebagai sesuatu yang berharga. Bukan hanya bibit-bibit tersebut telah memberikan akses kesehatan yang prima, masyarakat juga merasa senang bisa berkontribusi langsung dalam melestarikan dan menjaga keanekaragaman hayati di Tanagupa. Program konservasi berbasis komunitas ini jauh lebih diterima masyarakat setempat karena lebih mengedepankan sisi manusiawi mereka.
Reboisasi Yayasan ASRI ini juga menghidupkan kembali kegiatan anyaman bambu yang dilakukan oleh kelompok-kelompok perempuan yang sempat sepi pembeli sejak masa terbatasnya ruang gerak bersosialisasi sejak pandemi COVID-19 diberlakukan (2020-2021). Mereka kini diminta menganyam eco-polybag ramah lingkungan dari bambu mengganti bahan plastik yang selama ini sering digunakan.
“Kami meminta kelompok perempuan penganyam untuk membuat eco-polybag dari bahan bambu hutan yang ada di Tanagupa. Sebelumnya kelompok ini juga telah mendapatkan pembinaan dari Balai Tanagupa,” jelas Hendriadi, Koordinator Reboisasi, ASRI.
Salah satunya kelompok perempuan anyam bambu Kayek Melayek Besame dari Dusun Manjau, Laman Satong, Matan Hilir Utara. Kelompok yang dimotori oleh Debora, ini merasa hidupnya lebih bergairah lagi karena mendapatkan pesanan anyaman eco-polybag dari Yayasan ASRI.
“Sudah lama sekali kami tidak menganyam dan dapat pesanan. Biasanya kami menganyam membuat nyiru, atau bakul-bakul beras. Kami jadi semangat saat ASRI menawarkan kami untuk membuat eco-polybag. Kami kejar siang malam, di sela-sela waktu senggang kami untuk bisa menyelesaikan pesanan dari ASRI,” jelas Debora yang asli Dayak Punan.
Debora dan empat perempuan di kelompoknya ini bisa mengerjakan sebanyak 100 eco-polybag dalam sehari. Senada juga dirasakan oleh kelompok penganyam dari kampung Melayu, Sinar Baru, di Dusun Pasir Mayang, Desa Pampang Harapan, Sukadana, yang dimotori oleh Lina.
Satu eco-polybag berdiameter 10 cm dan tinggi 20 cm dihargai 2 ribu rupiah. Baik Debora maupun anggota kelompoknya kini merasa senang punya tambahan penghasilan. Sejak 2020, mereka bisa mengumpulkan 9 juta rupiah dari hasil pesanan eco-polybag Yayasan ASRI. Hasil penjualan ini mereka bagi rata dengan para anggota kelompoknya. Total eco-polybag yang telah dibuat kelompok perempuan ini sejak 2020, sebanyak 103 ribu.
ASRI percaya bahwa manusia tidak akan sehat tanpa alam yang sehat. Alam tidak akan sehat tanpa manusia yang sehat. Untuk itu ASRI bekerja mengintegrasikan layanan kesehatan dan konservasi bagi masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Satu langkah upaya yang berhasil, menuntun ke langkah upaya lain yang dilakukan Yayasan ASRI di Kayong Utara.