Sebuah Pengalaman dari Lambusango, Sulawesi Tenggara
Bagaimana mungkin masyarakat lokal mampu menjaga dan mengelola hutannya sendiri? Memangnya ada sumberdaya alam lain selain hasil hutan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan?
Pertanyaan-pertanyaan ini paling banyak dilontarkan baik secara serius maupun sinis kepada hampir seluruh institusi yang berupaya memadukan pelestarian hutan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Pertanyaan-pertanyaan ini Ppula yang berhasil dijawab dengan tuntas oleh Program Konservasi Hutan Lambusango.
Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango
Konsep awal Program Konservasi Hutan Lambusango mengacu kepada prinsip pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat. Kemudian dibentuklah Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango untuk memanfaatkan sumberdaya hutan dan
bertanggung jawab melestarikannya. Namun setelah melalui perdebatan yang panjang, konsep awal tersebut akhirnya tidak diterapkan di Hutan Lambusango karena kerentanan ekosistemnya, peraturan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terus berubah, dan berpeluang menimbulkan konflik pemanfaatan sumber daya alam antar kelompok masyarakat. Sebagai gantinya, dilakukanlah pengembangan bisnis pedesaan di luar kawasan hutan dimana masyarakat penerima manfaat dari bisnis ini wajib melindungi sumberdaya hutan.
Berubahnya konsep pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat tersebut di atas turut mengubah peran Forum yang awalnya didesain sebagai organisasi penerima manfaat sumberdaya hutan. Forum pun kini menjadi mitra pemerintah dalam mengontrol kebijakan tata kelola hutan, menjadi agen perubahan sikap dan perilaku masyarakat terhadap sumberdaya hutan, dan memfasilitasi pengamanan hutan berbasis masyarakat. Ternyata peran semacam inilah tampaknya paling sesuai bagi sebuah Forum masyarakat sekitar hutan.
Beberapa langkah Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango yang berdampak positif dalam pelestarian hutan antara lain adalah menolak rencana pembangunan kebun kelapa sawit di Kecamatan Lasalimu dan Lasalimu Selatan seluas 5.000 ha yang berpotensi mengancam kelestarian hutan. Rencana tersebut akhirnya tidak jadi dilaksanakan. Forum ini juga melakukan pendekatan dengan beberapa perusahaan pengolahan aspal agar dapat mempekerjakan masyarakat sekitar hutan. Hasilnya kini PT. Buton Asphalt Indonesia dan PT. Putindo telah memperkejakan 700 orang dari masyarakat lokal. Selain itu Forum ini mengirim surat kepada Presiden (tembusan Menteri Kehutanan) untuk mencermati rencana pertambangan timah yang berpotensi merusak Hutan Lambusango Kemitraan Sejati untuk Hutan Lestari dan ekosistem Teluk Kapontori. Permintaan kelompok ini telah mendapatkan tanggapan dari Menteri Kehutanan dan Badan Planologi Kehutanan.
Kolaborasi Multi Pihak
Sebagai bagian dari peningkatan kolaborasi multi pihak untuk pelestarian hutan Lambusango, program ini kemudian memfasilitasi pembentukan beberapa forum lain seperti Forum Sistem Informasi Geografis (Forum SIG), dan Unit Pengamanan Hutan Lambusango.
Forum SIG berhasil menarik Pemerintah untuk menginvestasikan sejumlah peralatan GIS untuk menghasilkan berbagai peta penutupan lahan digital agar dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang konservasi. Selain membentuk beberapa forum, program ini juga memfasilitasi penyusunan Peraturan Desa Pelestrarian Hutan, pengembangan Lembaga Ekonomi Desa (LED), dan penciptaan berbagai model bisnis pedesaan dan pengembangan pemasaran.
Dalam hal pengamanan hutan, pihak yang terlibat dalam kolaborasi pengamanan hutan adalah Dinas Kehutanan, Balai Konservasi Sumberdaya Hutan Sulawesi Tenggara, Polisi dan jurnalis. Kolaborasi menekankan pada kegiatan patroli hutan untuk mencegah terjadinya penebangan liar dan perambahan hutan. Unit Pengamanan Hutan Lambusango dibagi menjadi Unit Investigasi yang melakukan penyelidikan terhadap pelaku kejahatan dengan bantuan jaringan Forum Hutan Kemasyarakatn Lambusango di tingkat desa, dan Unit Respon yang bertugas melakukan patroli penangkapan, pengumpulan barang bukti dan menyusun laporan kejadian untuk disampaikan ke polisi.
Manfaat terpenting dari kolaborasi ini adalah membuktikan penegakan hukum kehutanan kepada masyarakat dengan harapan agar tidak terjadi lagi pelanggaran hukum ini. Pada awal tahun 2008, kolaborasi ini berhasil membawa kasus perambahan hutan di Kecamatan Kapontori ke pengadilan dimana dari tigabelas perambah hutan, sebelas di antaranya telah dijatuhi hukuman penjara delapan bulan dan dua lainnya satu setengah tahun.
Wildlife Conservation Products
Wildlife Conservation Products adalah upaya menjamin pemasaran produk petani di sekitar hutan berkeragaman hayati tinggi atau bernilai ekologis penting. Petani disyaratkan membuat kesepakatan dengan seluruh penduduk desa untuk melestarikan
hutan dengan cara tidak melakukan pembalakan liar (illegal logging), tidak merambah hutan (forest conversion), dan tidak berburu satwa dilindungi. Kesepakatan konservasi desa ini tidak terbatas pada pemilik jenis produk yang dijamin pemasarannya, melainkan mengikat kepada seluruh warga desa. Untuk menilai tingkat kepatuhan seluruh masyarakat desa terhadap kesepakatan konservasi desa yang telah dibuat, kami melakukan monitoring kondisi kerusakan hutan secara berkala.
Program ini berhasil memfasilitasi Asosiasi Petani Jambu Mete Matanauwe (APJMM) untuk menerima sertifikasi fair-trade dari FLO, Jerman. Ini adalah produsen mete pertama di dunia yang meneria sertifikasi FLO yang memungkinkan keterhubungan produk mete dan kopi lokal dengan pasar internasional. Keberhasilan Operation Wallacea Trust dan Operation Wallacea Ltd dalam menghubungkan pasar internasional adalah dengan menggunakan skema Wildlife Conservation Products.
Program ini menunjukkan model yang menarik dan seimbang dalam membangun mutual trust dan respek di antara para stakeholders, juga dalam hal menyeimbangkan konservasi dan pengembangan ekonomi, serta membangun kepemilikan bersama untuk perlindungan Hutan Lambusango.