Kawasan Timur Indonesia, telah lama hidup menyandang stigma miskin dan bodoh.
Lalu bagaimana bisa sebuah komunitas, jauh di tengah pulau Timor, berdiri dengan semangat yang tak pernah padam?
Untuk mencapai sekretariat Lakoat.Kujawas kita harus melalui jalan sempit dengan tikungan tajam. Pemandangan September yang memasuki musim kering menjadi sangat membosankan. Daun sedang gugur. Pohon sedang sekarat.
Tapi, pemandangan berbeda akan nampak jika Anda menyusurinya pada Januari hingga Juli, kawasan itu akan nampak hijau dan asri. Sungai Netmetan, yang lebar akan membawa arus kuat. Tidak seperti saat musim kering, bagian tengah badan sungai menumpuk batuan membentuk pulau.
Ratusan tahun silam, Mollo adalah negeri subur. Masyarakatnya hidup dengan rukun. Kawasan ini pula lah yang mendapat julukan The Heart of Timor – jantungnya pulau Timor. Puncak tertingginya adalah Gunung Mutis.
Mutis dengan ketinggian 2.427 meter di atas permukaan laut, ibarat ibu dari bukit-bukit di sekitarnya. Mengalirkan 12 sumber mata air, menuju kota Kupang hingga ke negara Timor Leste.
Di kawasan inilah, di Desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Lakoat.Kujawas berdiri bersama keceriaan dan kegembiraan anak-anak. Di antara tapak kaki warga yang kuat. Di dalam hangat rumah Ume Kbubu (rumah bulat). Dan tentu saja keriuhan canda.
Lakoat.Kujawas adalah sebuah komunitas yang berdiri 10 Juni 2016. Lima orang penginisiasinya tergerak untuk menemukan kembali cerita petualangan masa kecilnya. Pulang sekolah lalu, masuk ke hutan berburu buah Lakoat dan Kujawas. “Mungkin bagi banyak orang tua, buah itu tidak begitu penting, karena bukan jenis buah yang bernilai untuk bisa dijual. Tapi bagi anak-anak, dua buah ini menjadi salah satu memori paling penting dalam perjalanan,” kata Dicky Senda, salah seorang pendirinya.
Lakoat dalam bahasa indonesia adalah buah Biwa. Kujawas adalah jambu biji.
Dicky seorang sastrawan. Ia menulis buku tentang Timor, merekam resep kuliner, dan mengangkat hubungan sosial. Dia mencintai kampungnya, yang setiap orang tak bisa mengukurnya. “Saya sudah selesai dengan urusan diluar sana. Saya ingin menetap di Taiftob. Di desa ini,” katanya.
Gudang di rumah keluarga Dicky kemudian disulap menjadi sebuah perpustakaan. Rak buku ditempatkan di dalamnya menjadi rumah bagi beragam bacaan. Komik, novel, cerpen, hingga pelajaran umum. Setiap anak dapat membawa buku ke rumahnya. “Harus baca e. Ada buku yang hilang? Kaka Dicky tidak marah. Tapi harus melapor. Jadi besok, buku yang sudah di pinjam diletakkan di keranjang itu, lalu catat sendiri,”
“Ini sudah jam 5 (17.00), sudah. Ayo siap-siap pulang. Pulang langsung ke rumah e. Hati-hati,”
Anak-anak itu membubarkan diri. Beberapa dari mereka berasal dari desa tetangga. Jarak tempuh berjalan kaki bisa mencapai 30 menit hingga 1 jam. Di Lakoat-Kujawas akhirnya, tim BaKTI menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak di pelosok Indonesia, punya minat baca yang tinggi. Mereka hanya tak punya akses, tak ada fasilitas.
“Sejak ada Lakoas.Kujawas, setiap minggu saya pinjam buku. Kalau saya suka cerita bukunya, saya habiskan bacaan sekitar 200 halaman dalam tiga hari,” kata Yoneta Silfana Pantola, siswa Kelas 8 SMPK St. Yoseph Freinademetz.
Membangkitkan Rasa Percaya Diri
Di Taiftob, ada dua Sekolah Dasar (SD), tiga Sekolah Tingkat Pertama (SMP), dan satu Sekolah Menengah (SMA). Desa ini dihuni oleh sekitar 170 KK dan sekitar 1.000 jiwa.
Randiano Tamelan adalah salah seorang relawan Lakoat.Kujawas. Seperti pemuda Timor lainnya, ia penuh kehangatan dan canda. Di Lakoat.Kujawas, ia mengajar anak-anak bahasa Inggris. Bagi Randi, sapaan akrabnya, anak-anak adalah bagian penting dari perkembangan wilayah. “Pada awal kami membuat kelas, ada banyak anak-anak yang sangat pemalu. Atau bahkan ketakutan dan tak ingin bicara,” katanya.
“Saat disentuh atau dielus kepalanya, mereka bisa menangis. Saat dipanggil, mereka malah lari. Saya sedih dengan itu,” lanjutnya.
Menularkan Semangat Belajar
Tahun 1998, ketika kirisis moneter melanda Indonesia, menumbangkan Orde Baru, dampaknya hingga ke Tiaftob, banyak anak muda meninggalkan kampung. Seperti yang banyak terjadi di desa-desa di NTT, kebanyakan anak muda memilih pergi ke Kalimantan dan Malaysia menjadi buruh demi mendapatkan fresh money.
Padahal, leluhur orang Timor, sejatinya bukan bangsa perantau. Leluhur Timor bertahan hidup mengelola alam dengan mengandalkan keuletan. Mereka tidak mengeluhkan kondisi kering gersang yang kerap dialami di musim kemaru. Bagi orang Timor, tanah yang mereka pijak adalah tanah yang memberi kedamaian.
Namun sore itu, ada keramaian di pekarangan rumah Om Willy – Richardus Willy Brodus Oematan. Di samping rumah, ada yang menumbuk, ada yang mencacah, dan mencampur. Orang-orang itu sedang praktek pembuatan pupuk organik. Mereka adalah para orangtua dari anak-anak yang menggabungkan diri ke dalam Komunitas Lakoat.Kujawas.
“Waktu dengar pertama kali Lakoat.Kujawas ini, saya acuh saja. Tapi saya ada dua anak yang selalu berkunjung ke sana. Kalau pulang selalu bawa buku. Saya tanya-tanya, lalu dia cerita dan anak saya gembira sekali,” kata Willy.
Akhirnya, berlalu waktu, dia melihat perubahan pada anaknya. Semakin rajin belajar dan suka membaca. Anak-anak desa juga sudah mulai berani tampil di sebuah pementasan desa. “Saya bangga sekali sekaligus haru,” katanya. Perubahaan-perubahan itu mendorong Willy untuk bergerak melihat Lakoat.Kujawas dan membangun diskusi, membangun mimpi bersama.
Merambah Kewirausahan Sosial
Di tempat ini, di Timor secara umum, orang-orang menemukan resep dan adaptasi pangan dalam cuaca yang sangat eskstrim adalah bagian dari upaya bertahan hidup. “Ini adalah tradisi yang agung dan kami sedang beradu untuk menyelamatkan dan mengenalkannya kembali agar menjadi semangat,” kata Dicky.
Orang Timor sebagian besar hidup sebagai petani musiman, padi pada musim hujan dan jagung saat musim kering. “Pengetahuan-pengetahuan membaca alam. Merencanakan pertanian, acapkali dianggap hal yang tradisional, padahal ini lah yang menyelamatkan Timor sejak awal,” katanya.
Karena tuntutan ekonomi dan saringan informasi yang kurang baik, kebanyakan warga Taiftob merasa imperior terhadap warga kota. “Saya mendapati beberapa hal yang sangat menyedihkan. Jika ada tamu dari kota, warga menghidangkan mie instan, karena itu dianggap makanan dari kota. Ubi, singkong, jagung, sudah tidak. Ada ungkapan bilang begini, ‘malu hati kita kalau kasi tamu makanan orang kampung,” kata Dicky.
“padahal makanan, adalah identitas. Makanan adalah proses penemuan manusia.” , lanjut Dicky.
Di Lakoat.Kujawas anak-anak dan orang dewasa kembali mendalami akar budaya yang sempat menghilang dari kehidupan bermasyarakat di Taiftob. Selain mempelajari kembali Natoni tradisi berbalas pantun saat menyambut atau melepas tamu, mereka kembali menekuni tenun dan anyaman bambu yang telah lama ditinggalkan karena dahulu dianggap sebagai aktivitas ekonomi yang terlalu lambat menghasilkan uang.
Bersama, mereka membuat Sambal Lu’at – sambal khas Timor. Sambal Lu’at produksi Lakoat.Kujawas adalah ketakjuban. Rasanya gurih, kecut, dan pedas. Sambal ini dapat bertahan lama, berminggu-minggu. Lembaga ini membuat sambal setiap 2 minggu sekali. Mereka mangambil pasokan cabe dari desa sekitar. Namun tetap mengutamakan hasil pertanian cabe dari desa Taiftob.
Rata-rata produksi Sambal Lu’at mencapai 15-20 kg per dua pekan. Lakoat.Kujawas menjualnya secara online lewat akun media sosial milik komunitas. Sambal Lu’at dikirim ke berbagai penjuru tanah air, dengan permintaan pasar paling tinggi dari Jakarta. Harganya bervariasi antara 15-25 ribu per botol.
Selain Sambal Lu’at mereka juga memproduksi dan menjual Jagung Bose dan kain tenun. Keuntungan bersih hasil penjualan akan dimasukkan ke lembaga sebesar 10 persen, untuk kepentingan bersama. Inilah yang mereka sebut sebagai skema kewirausahaan sosial.
Skema ini, menjadi tempat membangun hubungan sosial agar semua pelaku ekonomi saling terhubung. Prinsipnya, semua pilar kehidupan akan berjalan seiring dan saling mendukung. Semua potensi ekonomi saling terkait.
Taiftob kini menjadi desa yang aktif. Kekuatan bersama sedang bertumbuh. Ibarat petani yang giat bekerja di kebun, sore hari kembali ke rumah yang hangat, memetik viol dan bernyanyi.
Husa sele le,le le hao
Neno hena maeb, neno hena maeb
Ae bijo le natu sa’ne bae
Helem aela lo lo sai sa’
Sa’ ne bae
Saat senja hari,
selepas bekerja merasa lelah,
sambil menatap senja,
bangkitkan semangat
menyambut hari berikut.