Matahari baru saja mulai bersinar, tapi Nelci Oisba sudah membuka matanya. Setelah berdoa dia beranjak dari tempat tidurnya, kemudian mandi dan menyikat gigi. Selesai mandi, Nelci kecil mengenakan seragam sekolahnya, lalu segera menuju teras di mana mamanya telah menyajikan sarapan kesukaannya, singkong goreng. Sebelum mencomot singkong, Nelci mendadak teringat sesuatu. Tergesa-gesa ia menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. “Sudah wangi”, kata Nelci sambil mencium jari-jari tangannya. Kembali ke teras, dengan tenang ia menyantap singkong goreng buatan sang mama.
Jam delapan kurang lima belas menit. Nelci dan mamanya berjalan menuju bangunan sekolah yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Bersama mereka, para mama bersama anak-anak yang lain melangkah menuju tempat yang sama. Di halaman sekolah anak-anak bermain, saling kejar ke sana ke mari. Tak lama kemudian Nelci sudah berada di tengah teman-temannya. Jam delapan tepat, empat orang guru mengumpulkan anak-anak yang sibuk berkejaran ke sana ke mari. Tidak lagi berkejaran, kini anak-anak itu sudah berbaris rapi, siap masuk ke kelas untuk mulai belajar.
Aktivitas di atas mungkin merupakan hal yang sangat biasa di kota-kota besar. Namun ini adalah kisah dari Kampung Beneraf di pesisir Pantai Timur, Kabupaten Sarmi, Papua. Ada seratus duapuluh keluarga di kampung yang berjarak delapan jam perjalanan darat dari Jayapura, ibukota provinsi Papua.
Lima tahun lalu, anak-anak di kampung ini belum mengenal kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, mandi, berdoa, dan sarapan. Banyak anak yang masih tinggal di rumah walaupun telah terdaftar sebagai murid Sekolah Dasar. Sekarang, para mama dengan bangga bercerita bagaimana anak-anak mereka mau mandi setiap pagi, mencuci tangan sebelum makan, berdoa di rumah. Mereka senang sekali saat anak-anaknya dengan mata berbinar menceritakan kegiatan mereka di Sekolah Kampung.
Sekolah kampung itu bernama Maju Bersama. Sebuah sekolah yang telah mengubah kehidupan masyarakat Kampung Benaf. Sekolah ini berdiri tahun 2007 dan dikelola sendiri oleh masyarakat kampung. Ide awal Sekolah Kampung diperkenalkan oleh John Rahail, fasilitator dari Insitut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (ICDp) Papua. Ide ini disambut baik oleh masyarakat kampung Beneraf, Betaf, dan Yamna.
Hampir tak ada kendala yang ditemui oleh John dan kawan-kawan dalam memperkenalkan dan mengembangkan ide masyarakat mengelola sendiri sebuah sekolah. Dengan cepat ide ini disambut baik oleh para orang tua yang merindukan kehadiran sekolah bagi anak-anak mereka di kampung tersebut. Kepala Kampung bahkan mengeluarkan Surat Keputusan Penugasan para guru dan seluruh warga sepakat untuk menggunakan seluruh dana RESPEK sebesar seratus juta rupiah untuk pembangunan gedung sekolah. Anggaran operasional sekolah ini diperoleh dari usaha para guru mengolah minyak kelapa untuk dijual ke masyarakat. Secara tidak langsung, orang tua membayar iuran sekolah dengan membeli minyak kelapa tersebut.
Jumlah murid Sekolah Kampung Maju Bersama pada awal berdirinya di Beneraf adalah 57 orang. Karena sebagian besar muridnya sudah masuk Sekolah Dasar, kini ada 30 anak yang belajar di Sekolah Kampung. Setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat, sekolah ini dipadati oleh anak-anak usia tiga sampai lima tahun yang berkumpul untuk belajar membaca dan berhitung. Di sekolah ini mereka juga berbagi kebahagiaan, bernyanyi, berkreasi sambil mempelajari keterampilan dasar hidup lainnya, termasuk memelihara kebersihan dan kesehatan. Ada empat orang guru; Martinus Wainok, Silva Abi, Sarah Mafud, dan Sam Orthi yang bertugas mengajar di sekolah ini.
Sam Orthi adalah guru di Sekolah Kampung yang lain daripada yang lain. Usianya menjelang lima puluh tahun, dan telah memiliki dua orang cucu. Namun hatinya tergerak untuk mengajar dan membimbing anak-anak ini. Sam rindu melihat generasi muda di kampungnya bisa menuntut ilmu dan punya masa depan yang cerah. “Saya rasa senang. Sekarang orang- orang tua sudah mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah dasar,” katanya sambil tersenyum.
Sama halnya dengan Sam Orthi, Martinus Wainok, Kepala Sekolah Kampung, juga sangat bersyukur melihat perubahan yang terjadi di kampungnya. “Sejak ada sekolah ini, anak-anak senang sekali belajar. Mereka sudah bisa berhitung sampai duapuluh dan mengenal alfabet. Kami senang sekali, anak-anak juga sudah percaya diri memimpin doa bersama di rumah”, jelas Martinus.
Kampung tetangga, Betaf dan Yamna, juga tak ingin ketinggalan. Mencontoh keberhasilan kampung Beneraf, di sana juga ada sekitar 30 anak yang mengikuti kegiatan belajar di Sekolah Kampung. Yang menjadi guru di sana adalah para pemuda setempat. Sama dengan sekolah Maju Bersama, murid-murid di sana juga belajar membaca, berhitung, dan bernyanyi. Mereka juga dikenalkan dengan berbagai permainan yang mengasah kreativitas seperti gasing, lompat tali, menyusun balok-balok kayu, atau bermain dengan boneka binatang.
Mungkin terdengar sederhana, tapi keinginan untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi bukanlah sesuatu yang umum di Beneraf beberapa tahun lalu. Dulu, masyarakat belum menganggap pendidikan sebagai investasi untuk perbaikan hidup di masa depan. Masyarakat menganggap bahwa begitu anak masuk sekolah dasar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru dan bukan orang tua. Angka partisipasi sekolah di Beneraf dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang tinggi di awal pendaftaran kelas satu SD, namun menurun di tahun-tahun berikutnya. Ini berarti tidak semua anak melanjutkan pendidikan ke jenjang kelas yang lebih tinggi.
Statistik pendidikan Kabupaten Sarmi memperlihatkan angka-angka yang sangat baik. Dari data tahun 2009, angka partisipasi sekolah tingkat SD, SMP dan SMA/SMK di atas 90 persen. Angka kelulusan siswa SD adalah 90 persen, sementara untuk SMP dan SMA/SMK di atas 70 persen. Namun ironisnya, masih ada murid SMK di daerah ini yang belum bisa membaca.
Sepanjang jalan trans Jayapura – Sarmi, banyak dijumpai gedung-gedung sekolah dengan kondisi baik, namun beberapa di antaranya sepi dari murid dan aktivitas belajar, pada hari dan jam sekolah. Padahal tercatat ada sekitar 6.500 anak yang terdaftar sebagai murid SD, 1.800 murid SMP, dan sekitar 1.500 murid SMA/SMK. Mengejutkan, namun kondisi serupa adalah kenyataan pendidikan di belahan lain Papua, atau bahkan di Kawasan Timur Indonesia secara umum.
Yang sedang terjadi di Kampung Beneraf, dan juga di Betaf dan Yamna adalah perubahan perilaku dan pola pikir. Sekolah Kampung adalah alat untuk mewujudkan kerinduan Sam Orthi dan juga para orang tua lainnya, yakni sekolah ke jenjang yang lebih tinggi untuk meningkatkan perikehidupan generasi penerus di masa mendatang.
Berhitung, mengenal alfabet, bermain sambil belajar, maupun mandi dan mencuci tangan mungkin hal yang sederhana. Namun di Kampung Beneraf, ini menunjukkan pola pikir yang mulai berubah di kalangan masyarakat: sebuah harapan baru untuk masa depan yang cerah bagi generasi muda Papua. Di lapangan berpasir, Nelci Oisba masih bermain bersama teman-temannya. Dengan bangga ia menunjukkan tulisan di baju seragamnya, “Ayo ke sekolah, membangun percaya diri!”. Langkah pertama dimulai dari tawa dan keceriaan anak-anak kecil ini.