Nama kapal besi itu adalah Mekar Teratai. Setiap malam kapal ini mengantarkan para penumpangnya dari Pelabuhan Bastiong, Ternate menuju Pelabuhan Babang di Labuha, Pulau Bacan. Penumpang sangat banyak saat itu, mereka naik berebutan dan sepertinya sedikit panik seolah-olah kapal sebentar lagi akan meninggalkan pelabuhan, padahal masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum kapal benar-benar berangkat. ”Disini satu satunya alat transportasi yang diandalkan ya kapal ini,” sahut seorang penumpang. Dari logatnya yang khas, sepertinya Bapak ini adalah perantau yang sedang mengadu nasib ke Maluku Utara. Sejak jalur penerbangan Ternate-Labuha tidak menentu, transportasi laut menjadi andalan warga untuk melakukan perjalanan.
Serupa dengan daerah lain di Kawasan Timur Indonesia, Maluku Utara memiliki wilayah perairan yang lebih banyak daripada daratan yakni 76,27% dari 140.225,32 km². Sebagian besar penduduk bermukim di daerah pesisir ke timbang di pegunungan. Kebanyakan daerah pesisir yang kini menjadi pemukiman sekarang adalah bekas rawa dengan banyak genangan air. Sebuah tempat yang ideal bagi nyamuk malaria untuk berkembang biak. Tak heran bila banyak daerah di Maluku Utara, termasuk Halmahera Selatan menjadi daerah endemis Malaria.
Halmahera Selatan mengalami Kejadian Luar Biasa akibat serangan malaria pada tahun 2003 hingga 2007. Pada masa itu daerah ini kehilangan 268 jiwa akibat penyakit malaria. Bahkan pada tahun 2005, Halmahera Selatan mengalami angka insiden tahunan malaria (Annual Malaria Incidents) tertinggi, yakitu 80,2 persen!
”Sebagai dokter, ya salah satu tugas saya adalah menyuntik penderita malaria dengan obat, tapi setelah pasien pulang dia terima suntik lagi dari nyamuk malaria. Saat itu kami memang masih berfokus pada pengobatan penderita saja,” jelas Kepala Dinas Kesehatan Halsel dr. Mohammad Alhabsyi, yang kerap dipanggil Dokter Moh.
Setelah mengalami beberapa kali kejadian luar biasa yang menelan banyak korban itu, Dokter Moh mengakui mulai ada kebutuhan pendekatan baru dalam penanganan malaria. ”Perlu penanganan bersama karena ini bukan tugas dan wewenang Dinas Kesehatan saja. Semua pihak harus ikut terlibat dan upayanya sendiri harus lintas sektoral,” tambahnya.
Saat itu Dokter Ahmad Aziz, Yudi dan Dokter Moh mulai mendesain konsep penanganan malaria terintegrasi. “Kami memulai perang melawan malaria dengan coret-coretan di selembar kertas kemudian mengembangkan ide program lintas sektoral ini ke dalam sebuah dokumen,” kenang Dokter Ahmad Azis yang rambutnya mulai memutih dengan semangat yang berkobar. ”Ada lima jurus paten yang harus diperhatikan dalam memerangi malaria yaitu kapasitas sumber daya manusia yang baik, laboratorium medis yang mendukung, sistem logistik yang kuat, anggaran yang memadai, dan sistem pencatatan dan pelaporan yang jelas,” jelas Dokter Aziz yang telah berjuang melawan malaria sejak tahun 1975.
Menindaklanjuti ide awal tadi, konsep Malaria Center mulai disusun dan dikembangkan. Dokter Aziz bergerilya mencari dukungan dan mengadvokasi Gubernur Maluku Utara dan para Bupati. Perjuangan Dokter Azis menunjukkan hasil pada tahun 2004 saat Gubernur Maluku Utara mendirikan Pusat Pelayanan Malaria terpadu yang dikenal dengan Malaria Center dan menghibahkan gudang obat di Tanah Tinggi.
Pendekatan yang dilakukan di Malaria Center menuntut keterlibatan dari masyarakat pada seluruh proses. ”Partisipasi masyarakat merupakan kunci untuk memenangkan perang terhadap malaria,” jelas Dokter Azis. Metode Participatory Learning and Action (PLA) pun digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat di Malaria Center. Bekerjasama dengan UNICEF, program ini melatih dua kader pejuang malaria dari masing-masing desa dengan misi utama mengenali apa itu malaria, melakukan musyawarah penyusunan Rencana Kegiatan Masyarakat dalam memerangi malaria dan pembentukan Komite Malaria Desa.
Dengan cara ini masyarakat desa mendapatkan edukasi tentang malaria dan selanjutnya dapat melakukan pemberantasan malaria berbasis masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan mereka menjadi lebih sehat. Selain itu pemerintah daerah juga memberi dukungan melalui dalam Alokasi Dana Desa Khusus (ADDK) Malaria untuk membiayai berbagai kegiatan penanggulangan malaria.
Dalam Malaria Center sendiri terdapat berbagai komponen, seperti BAPPEDA, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, bahkan Dinas Pendidikan. Ini menjadikan Malaria Center sebagai sebuah pusat untuk koordinasi, komunikasi, informasi dan aktivitas pemberantasan malaria. ”Anak-anak kami belajar mengenali jentik nyamuk malaria, tempat perkembangbiakannya, dan bagaimana memberantas malaria. Dengan demikian mereka dapat menyadari dan mengerti bahaya malaria serta bagaimana menghindarinya,” ujar Bakri Samad, Staff Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Selatan.
Tidak hanya memberantas malaria, Malaria Center juga berfungsi sebagai pendukung pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan balita. Bekerjasama dengan posyandu di tingkat desa dan dibantu oleh kader-kader posyandu, dilakukan pemeriksaan berkala dan diagnosis cepat malaria (Rapid Diagnostic Test – RDT) bagi ibu hamil dan balita. Malaria Center mengawamkan penggunaan kelambu berinsektisida bagi ibu hamil dan anak yang telah menerima imunisasi lengkap. ”Integrasi pencegahan dan pengobatan malaria dengan layanan kesehatan ibu dan balita adalah keunikan Malaria Center. Belum ada program serupa di negara lain”, jelas Dokter Santi, Malaria Officer dari UNICEF dengan bangga.
Malaria Center banyak menemui banyak tantangan dalam perjuangannya. ”Kondisi geografis Maluku Utara yang cukup sulit, menyebabkan distribusi obat sering terhambat. Memang kendala terbesar yang kami hadapi di daerah seeperti ini adalah dalam hal logistik”, aku Firmansyah, Pengelola Program Malaria Dinkes Halsel.
Perjuangan dan kerja keras memerangi malaria kini telah menampakan hasil. ”Saat ini angka penurunan malaria cukup signifikan, yakni sekitar 45 persen jika dibandingkan dengan tahun 2003 sampai tahun 2008,” ujar Iswahyudi, Pengelola Program Malaria Dinkes Provinsi Maluku Utara. Khusus di Halmahera Selatan dimana Malaria Center beroperasi sejak 24 April 2010 jumlah penderita malaria menurun drastis. Jika pada tahun 2005 angka insiden malaria tahunan daerah ini adalah 80, maka tahun 2009 angka insiden malaria tahunan dipangkas menjadi 40,2 persen.
Hal lain yang menggembirakana adalah bahwa angka parasit malaria bagi anak-anak berumur kurang dari 9 tahun (Angka parasite Rate-PR) juga menurun dari 58,7 persen pada tahun 2007 menjadi 41,5 persen di tahun 2009. Jika pada tahun 2003 malaria menelan korban 205 orang maka di tahun 2009 korban meninggal akibat penyakit ini tinggal 1 orang saja.
Kerjasama antar berbagai pihak dan komitmen yang kuat dari Pemerintah pada berbagai tingkat dan lintas sektoral serta partisipasi yang baik dari masyarakat adalah kunci keberhasilan perjuangan melawan malaria. Perang melawan malaria belum usai, namun kini semua pihak telah bekerja sama dan bergandeng tangan untuk memenangkan peperangan ini. Sayup-sayup terdengar suara warga desa bernyanyi ”Marilah berantas nyamuk malaria, yang suka menggigit warga desa kita, berantas berantas nyamuk malaria, agar warga desa sehat sejahtera…….”