Hari sudah menjelang sore dan mendung menggantung di Kampung Ogenetan. Angin berhembus kencang membawa gumpalan awan tebal pertanda sebentar lagi hujan deras turun. Ibu Maria Wometa masih sibuk melayani pembeli di kiosnya yang menjual kebutuhan pokok. Beberapa anak sibuk memilih permen dan kue, sedangkan mama-mama mengantri untuk bayar kebutuhan dapur mulai dari garam sampai daging.
Kampung Ogenetan adalah bagian dari Distrik Iniyandit, Kabupaten Boven Digoel. Kampung ini dihuni oleh 179 penduduk yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani karet. Kebun karet bukanlah hal yang lazim dijumpai di Tanah Papua. Di Ogenetan, karet diperkenalkan sebagai tanaman komoditas pada dekade 70an oleh seorang Pastor bernama Josep Nuy. Karet dianggap cocok dengan masyarakat didaerah itu, karena karet tidak perlu perawatan yang intensif. Peningkatan pemanfaatannya tak lepas dari upaya Pastor lain yang bernama Cornelis J.J De Rooij atau akrab dipanggil Pastor Kees. Beliau lah yang memperkenalkan teknik bercocok tanam karet.
Walaupun hasil karet di Ogenetan terbilang sangat baik, namun masyarakat Kampung Ogenetan tidak serta merta menjadi sejahtera. Letak geografis yang cukup sulit dan minimnya akses transportasi yang memadai membuat roda pereknomian bergerak sangat lambat. Ditambah lagi dengan praktik tengkulak yang merajalela dan mencekik petani-petani karet disana.
Tak kurang dari sepuluh tahun yang lalu, warga Ogenetan terpaksa menjual hasil sadapan karetnya dengan harga sangat murah pada tengkulak semata-mata untuk membayar hutang mereka. Tidak jarang, para tengkulak itu bahkan membarter karet dengan mie instan atau beras.
Kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok adalah masalah lain yang harus dihadapi warga Ogenetan. Kebutuhan pokok terdekat saat itu hanya bisa diperoleh dari Tanah Merah atau Distrik Mindiptana yang hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki selama tiga sampai lima jam karena satu-satunya jalan yang ada rusak parah. Tidak heran, harga barang pokok di Kampung Ogenetan menjadi sangat tinggi.
Dikepung masalah, warga Ogenetan pun masih dicekam dengan kuatnya pendapat bahwa masyarakat asli Papua tidak bisa berusaha. Apalagi sebagian warga masih hidup dengan cara meramu dan tinggal berjauhan, tidak berkelompok.
Selamat tinggal keterpurukan!
Berbagi kesulitan yang dihadapi mendorong Bapak Yan Karowa, Kepala Distrik Iniyandit, untuk melakukan perubahan. Ia menemui Riswanto dan Frans Upessy, dua fasilitator Wahana Visi Indonesia yang saat itu bertugas untuk program pemberdayaan masyarakat di Iniyandit. “Saat itu kami berpikir, kalau terus menjual karet ke tengkulak, masyarakat tidak akan pernah bisa menentukan harga karet dan akhirnya hanya hidup untuk mengurus hutangnya. Kapan bisa maju kalau tidak berusaha bersama?” kenang Mas Ris, panggilan Riswanto.
Pertemuan ini kemudian melahirkan ide untuk mendirikan koperasi, sebuah usaha berkelanjutan yang melibatkan masyarakat sekaligus menciptakan kemitraan di antara masyarakat. Beberapa pertemuan dengan tokoh masyarakat dan adat di Ogenetan mulai dilakukan untuk membicarakan kemungkinan itu.
Awalnya warga Ogenetan ragu karena sebelum Koperasi Nonggup mereka telah tiga kali gagal dalam membina usaha secara berkelompok . Uang yang telah terkumpul banyak selalu dibawa kabur oleh ketua kelompok. Mas Ris dan Pak Yan patah semakin semangat. Mereka tetap melakukan pendekatan dengan para kepala kampung dan mengingatkan bahwa pengalaman pahit yang pernah alami dialami justru menjadi pelajaran yang menyadarkan warga akan pentingnya membuat laporan keuangan yang jelas, teratur, dan transparan.
Pendekatan dari sisi agama juga dilakukan Mas Ris dan Pak Yan. Karena warga Ogenetan beragama Kristen, beberapa contoh dari Alkitab juga diambil untuk mengajak masyarakat bangkit dari masalah mereka dengan memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan, keluarga, dan sesama anggota masyarakat. Beberapa perumpamaan diangkat untuk menyadarkan warga bahwa setiap masalah dapat dipecahkan bersama-sama.
”Saat itu warga juga belum percaya diri. Mereka menganggap perlu modal yang besar jika ingin membentuk kelompok. Kami berusaha menyadarkan bahwa apa yang ada pada masyarakat adalah modal yang laing kuat”, kenang mas Ris yang saat itu mengajak warga untuk menemukenali potensi diri masing-masing. ”Kami tekankan bahwa modal tidak selalu dalam bentuk uang. Keahlian berburu atau mencari ikan pun adalah modal”, tambah mas Ris.
Akhirnya pada tahun 2009, sebanyak 29 warga Kampung Ogenetan sepakat mendirikan koperasi yang dinamakan Nonggup. Nonggup berarti kebersamaan. Kebersamaan untuk mewujudkan impian masyarakat Kampung Ogenetan. Saat itu modal dalam bentuk uang yang terkumpul adalah sebesar dengan modal 8-10 juta rupiah.
Segera setelah koperasi terbentuk, masyarakat bersepakat untuk tidak lagi menjual karet ke tengkulak dan memilih menjual karetnya ke koperasi.
Menyadari dapat menghasilkan empat sampai tujuh ton karet setiap bulan, Koperasi Nonggup pun memberanikan diri menggagas kerjasama dengan perusahana karet PT Montelo di Kabupaten Boven Digoel. Harga karet yang dijual Koperasi ke PT Montelo berkisar 15 ribu sampai 23 ribu rupiah. Keuntungan dari jual beli karet dibagikan kembali kepada anggota Koperasi sebagai Sisa Hasil Usaha. Cara ini ternyata berhasil dan kemudian menarik perhatian lebih banyak warga Ogenetan.
Perkembangan Koperasi Nonggup luar biasa cepat. Hanya dalam tiga tahun, anggota Koperasi Nonggup bertambah hampir lima kali lipat. Saat ini anggota Koperasi Nonggup sendiri sudah berjumlah 136 orang di Kampung Ogenetan saja. Saat ini cabang Koperasi Nonggup juga ada di Langguan ibukota Distrik Iniyandit, Distrik Mindiptana dan Distrik Arimop.
Rapat Anggota Tahunan (RAT) Pertama yang diadakan tahun 2010 melaporkan keuntungan bersih kelompok sebesar sekitar 23 juta rupiah. Besar iuran yang terkumpul pun meningkat dari 46 juta rupiah di tahun kedua menjadi hampir 162 juta di akhir tahun ketiga. Sisa Hasil Usaha yang dibagikan pada akhir tahun ketiga pada anggota bahkan ada yang mencapai 7 juta rupiah dengan bonus televisi.
Kemajuan pesat berkat aset setempat
Selain itu karet, Koperasi Nonggup juga membuat usaha bersama berupa kios yang menyediakan kebutuhan pokok masyarakat. Harga kebutuhan pokok di Kampung Ogenetan kini tidak lagi semahal dulu, bahkan menjadi sama dengan harga kebutuhan di ibukota Kabupaten Boven Digoel. Kebutuhan pokok yang dijual di kios Koperasi Nonggup tidak hanya sembilan bahan pokok, tapi juga hasil kebun dan hasil buruan warga. Tentu saja ini menambah daya pikat kios yang semakin padat dikunjungi pembeli.
Pada RAT pertama keuntungan usaha kios sudah mencapai 19 juta rupiah. Di tahun kedua, Koperasi Nonggup membuka 2 kios di 2 kampung lain. Pada RAT ketiga, keuntungan dari usaha kios menjadi 56 juta rupiah. Menurut Bruno Etmop, Ketua Koperasi Nonggup, pesatnya perkembangan ini tak lepas dari usaha setiap anggota yang mengerti dan menaati semua aturan. “Kalau ada hutang, anggota tahu harus disiplin membayar, bahkan mereka sudah mengerti kalau harus bayar bunga juga,” sahut Pak Bruno yang patut berbangga dengan aset dana Koperasi di Bank BRI yang telah mencapai 500 juta. ”Semua ini murni swadaya masyarakat, hampir tanpa bantuan dari pihak lain”, ungkapnya.
Ada cara unik yang diterapkan pengurus koperasi untuk mendorong anggotanya memanfaatkan jasa koperasi. Bila ada anggota Koperasi yang ingin membeli kendaraan bermotor, maka Koperasi akan membelikan motor tersebut dan menyimpannya di Koperasi sampai anggota berhasil membayar penuh harga motor tersebut. “Motornya kami pajang di Koperasi biar dia tahu sudah ada motornya. Ini jadi penyemangat buat si anggota untuk bekerja dan membayar simpanan,” kata Bruno Etmop seraya tersenyum simpul.
Sejak perekonomian warga semakin aktif, kampung Ogenetan semakain ramai dikunjungi, baik oleh mereka yang ingin berbelanja maupun yang ingin belajar dari keberhasilan Koperasi. Kunjungan dari berbagai instansi baik dari Kabupaten Boven Digoel maupun dari kabupaten lain turut meramaikan Ogenetan. ”Karena mulai menjadi perhatian, infrastruktur di kampung kami mulai dibangun”, tutur Pak Yan sambil menatap jalan aspal yang mulus di Kampung Ogenetan.
Selain perubahan wajah Kampung, perubahan pun turut dialami oleh pengurus dan anggota koperasi. “Dulu, Ketua Koperasi jarang mau bicara di forum resmi, sekarang beliau lancar sekali berbicara di depan banyak orang,” kenang Mas Ris. Sekretaris Koperasi Nonggup, Agustinus Teagi, turut mengakui dirinya dan beberapa teman pengurus kini telah terbiasa merancang dan melakukan aktivitas yang terorganisir. ”Sekarang kami sudah bisa melakukan pembukuan, mengatur arus jual beli barang, dan menjaga komunikasi yang baik sesama anggota. Karena sudah percaya diri, sekarang kerjaan ini terasa menyenangkan, padahal dulu susah setengah mati,” ujar Agustinus Teagi sambil menepuk dadanya sendiri.
Mimpi Nonggup untuk Ogenetan
Meningkatnya taraf hidup warga Kampung Ogenetan tidak membuat mereka lupa untuk mengantarkan anak-anaknya bersekolah ke jenjang tertinggi. Beberapa anak di Kampung Onegetan telah kuliah di Merauke dan beberapa kota besar di Sulawesi seperti di Makassar.
“Kami siap untuk ke depan dan lebih bagus lagi dari hari ini,” kata Bruno Etmop tegas. Ia sangat yakin mereka bisa mengembangkan Koperasi Nonggup yang lebih baik lagi di pada lima atau sepuluh tahun ke depan.
Perkembangan Koperasi Nonggup mungkin terlihat biasa saja bila dibandingkan koperasi-koperasi besar di daerah lain di Indonesia. Namun semangat masyarakat untuk mengatasi kegagalan masa lalu dan memulai memecahkan masalah bersama-sama sungguh luar biasa. Tidak banyak orang di negeri ini yang bersedia menemukenali potensi diri dan berbagi modal yang mereka miliki untuk membangkitkan kepercayaan diri bersama.
Tentu saja hal ini mematahkan pandangan bahwa masyarakat asli Papua tidak mau berusaha dan tidak pandai berdagang. “Tekad kami adalah masyarakat di sini dapat membuktikan diri, bahwa kami bisa berhasil dalam berusaha. Hanya perlu kesabaran dan mengerti apa yang benar-benar ingin dicapai bersama,” pungkas Bruno Etmop dengan nada bangga.