Dimulai dari Data ke Tata Laksana Pemerintahan yang Tepat Sasaran
“Kami berpikir, bagaimana kita bisa membangun suatu daerah kalau tidak ada data akurat” – Bupati Polewali Mandar, Ali Baal.
Program Wajib Bejalar 9 Tahun yang digulirkan pada tahun 2004 tidak serta merta berhasil mengembalikan anak-anak usia sekolah ke bangku sekolah. Saat akan diterapkan di Kabupaten Polewali Mandar, Dinas Pendidikan setempat masih belum punya data akurat tentang jumlah anak yang berhenti sekolah, jumlah anak usia sekolah yang belum duduk di bangku sekolah, dan apa penyebab utama mereka berhenti atau belum bersekolah.
“Ada data tapi sumbernya dari sekolah dan tidak valid” ujar Yohanis Piterson, Kepala bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Dinas Pendidikan dan Olahraga Kabupaten Polman. Pak Piter, Pak Piter, demikian pria asal Maumere ini biasa disapa, telah lebih dari 10 tahun mengabdi di Dinas Pendidikan dan Olahraga. Melihat fakta ini, pemerintah daerah tidak tinggal diam. Dinas Pendidikan kemudian menginisiasi untuk membuat suatu sistem informasi pendataan yang datanya bersumber langsung dari masyarakat.
Agar dapat melaksanakan Program Wajib Belajar 9 Tahun, Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar, bersehati untuk membenahi data terkait bidang pendidikan di daerah tersebut, dengan menggelar program pendataan bertajuk Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) di tahun 2004.
Berbenah data menata rencana
Program SIPBM dimulai dengan pendataan di enam desa di Kecamatan Tinambung dan lima desa di Kecamatan Tapango. Pendataan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kegiatan anak usia 0 sampai 18 tahun dan hasil pendataannya menjadi bahan dasar perencanaan penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun.
Sebuah tim kemudian dibentuk terdiri dari di tingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Tim tersebut terdiri dari elemen Dians Pendidikan, LSM, dan pers yang punya perhatian besar bagi dunia pendidikan. “Ketiga unsur ini berkolaborasi menjadi sebuah kekuatan besar untuk mengawal program SIPBM. Semua bersinergi karena kekuatan ini penting. Itu modal dan landasan kami,” jelas Nehru Sagena, Fasilitator SIPBM.
Di tahun 2005, pendataan tuntas dilaksanakan pada 7 desa di kecamatan Tinambung dan Tapango. Dari temuan data SIPBM ini teridentifikasi anak-anak usia Sekolah Dasar yang putus sekolah dilengkapi dengan penyebabnya, dan kondisi ekonomi orang tua. Kegiatan pendataan juga mengidentifikasi pihak-pihak yang berpotensi memberikan dukungan agar anak-anak tersebut dapat kembali ke sekolah.
Serangkaian pembahasan untuk menentukan rencana aksi berdasarkan temuan dari kegiatan pendataan pun dilakukan. Pihak-pihak yang dapat memberikan dukungan pun kemudian diajak serta untuk mengembalikan anak-anak tersebut ke bangku sekolah. Sebanyak 11 anak putus sekolah yang teridentifikasi di Desa Tapango akhirnya kembali bersekolah berkat dukungan Komite Sekolah. “Saya sangat gembira karena bisa sekolah lagi”, ungkap Hendra
Sebuah rencana aksi desa dibuat untuk mengembalikan anak-anak tersebut ke sekolah dengan melibatkan komite sekolah. 11 anak putus sekolah ini kemudian diserahkan oleh pihak Komite Sekolah kepada pihak Sekolah dalam sebuah seremoni pada 28 Desember 2004. “Saya prihatin, banyak anak di desa kami yang tidak sekolah. Saya dekati orang tuanya dan bicara dari hati ke hati. Soal seragam, buku, alat tulis jangan dipikirkan, kami akan usahakan. Akhirnya orang tua setuju anaknya kembali ke sekolah. Senang sekali rasanya”, ungkap Muhdar, seorang anggota Komite sekolah di SDN 030 Tapango.
Rasa haru dan gembira terutama dialami oleh Hendra, satu dari sebelas anak itu yang kini telah duduk di kelas 2 SMA. “Kalau saya tidak kembali bersekolah saat itu, mungkin sampai sekarang saya masih tidak bersekolah”, tutur Hendra. Abdul Salam, Kepala Desa Tapango, tak kalah bersyukur. “Tanpa data SIPBM, kami tak tahu persis berapa anak putus sekolah yang ada di desa kami”, ungkapnya penuh rasa haru.
Kisah yang sama dialami M.Ali, anak putus sekolah dari Desa Bussu. Karena orangtuanya tidak punya biaya, terpaksa Ali harus putus sekolah. Adalah Basir Amin, Ketua Badan Amil Zakat Desa Bussu sekaligus fasilitator SIPBM. Karena prihatin dengan anak putus sekolah di desanya, muncul ide untuk memberi beasiswa melalui lembaga amil zakat. “Saya mengajak orang tua santri khususnya petani coklat untuk mengeluarkan zakat 2.5% dari 1 juta rupiah. Uang sebesar 25 ribu rupiah ini lalu dikumpulkan dan setiap Jumat saldonya diumumkan di mesjid,” kisah Pak Basir yang juga guru mengaji di desa Bussu. “Syukur alhamdulilah, berkat beasiswa dari lembaga amil zakat, beberapa anak saat ini sudah bisa bersekolah mulai dari pesantren, Madrasah Aliyah Negeri sampai kuliah,” imbuhnya bangga. “Saya bertekad akan membalas kebaikan masyarakat desa Bussu dengan cara belajar keras agar bisa sukses dan kembali untuk membangun desa ini” kata Ali yang saat ini kuliah di Universitas Negeri Makassar.
Memutakhirkan data untuk perluasan manfaat
Setelah setahun melaksanakan berbagai aksi menindaklanjuti hasil pendataan SIPBM, di tahun 2006 Dinas Pendidikan Kabupaten Polewali Mandar menyempurnakan instrumen pendataan ini. Karena telah berkomitmen untuk melakukan pendataan setiap tahun, di tahun 2007, proses pendataan kembali dilaksanakan pada 15 Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar dengan meliputi 132 Desa/Kelurahan.
Melihat program SIPBM membawa hasil dan dampak nyata, data SIPBM kemudian dijadikan data dasar untuk Penyusunan Rencana Strategis Pendidikan Polewali Mandar untuk ahun 2008 hingga 2013. Namun tak hanya berhenti sampai disitu, berbagai upaya terus dilakukan untuk mengatasi persoalan pendidikan dasar di Kabupaten Polewali Mandar. Setelah pendataan SIPBM periode 2004-2007, ternyata masih tinggi angka putus sekolah, mencapai 80 persen. Oleh karena itu, Pemkab Polman merancang lanjutan program SIPBM yang disebut Program Study Anak Diluar Sekolah Fokus Transisi (Lulus SD/Mi sederajat Tetapi Tidak Lanjut Ke SMP/MTs sederajat) atau dikenal dengan nama Program Transisi pada tahun 2011 dengan Pilot Project pada 10 Desa di Kecamatan Binuang dan 12 Desa di Kecamatan Mapilli.
Program Transisi diawali dengan pemutakhiran data SIPBM 2007. Setiap desa melakukan kegiatan Diskusi Kelompok Terbatas, tujuannya bukan hanya mendata ulang tapi juga melakukan konsultasi dan advokasi agar anak putus sekolah bisa dikembalikan. Tim pendata turun langsung ke rumah-rumah untuk melakukan advokasi. Posko pengaduan anak putus sekolah dibentuk hingga tingkat dusun.
Hasilnya, ditemukan 438 anak yang tidak bersekolah di Kecamatan Tinambung karena tidak adanya sarana pendidikan bagi anak usia dini (PAUD) selain karena masalah biaya. Temuan ini menyadarkan masyarakat yang dalam Rencana Aksi Desa mengusulkan pembangunan fasilitas PAUD/TK dan program beasiswa.
Beruntung, kecamatan ini termasuk dalam lokasi kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (sebelumnya dikenal dengan Program Pengembangan Kecamatan – PPK). “Saya bersyukur, ada SIPBM dan PNPM yang menindaklanjuti hasil pendataan dengan membangun sarana sekolah dan pemberian beasiswa,” ujar Ramli, Fasilitator PNPM kecamatan Tinambung.
“Dulu kami belajar di bawah kolong rumah. Untung ada PPK yang mau membiayai pembangunan sekolah. Sekarang saya sangat bahagia dan perasaan plong,” kenang Ibu Masni, pengelola Kelompok Bermain Melati Aisyiah di Desa Batulaya. “Sekarang, 7 Desa dan 1 Kelurahan di kecamatan Tinambung, telah memiliki sarana Taman Kanak-Kanak, PAUD, Posyandu dan Poliklinik berkat data SIPBM,” ungkap Haidir, Lurah Tinambung. Ia pun berharap pemutahiran data SIPBM dapat terus dilakukan minimal sekali dalam lima tahun agar data tetap valid.
Berkat dukungan dana APBD dan bantuan UNICEF, pemutakhiran data SIPBM anak putus sekolah dapat dilaksanakan. Hasilnya di Kecamatan Binuang, 271 anak dari keluarga miskin dari 530 teridentifikasi, dapat dikembalikan ke sekolah. Ernia adalah salah satu dari 271 anak penerima beasiswa.
Ernia adalah seorang anak berusia 13 tahun di Batetangnga yang putus sekolah demi mengurus empat orang adiknya seorang diri. Ayahnya meninggal ketika Ia berumur 10 tahun dan ibunya pergi meninggalkan mereka begitu saja. Keberadaan Ernia dan saudara-saudaranya diketahui karena ada laporan tetangganya yang juga selama ini membantu hidup sehari-hari mereka.
Setelah berkoordinasi dengan kepala dusun dan Kepala Sekolah MTs DDI Kanang, tim program transisi mencari jalan untuk mengembalikan Ernia dan adik-adiknya ke bangku sekolah. “Tahun ajaran 2010/2011, sekolah kami menerima hasil pendataan SIPBM. Ada 26 anak di desa Batetangnga yang putus sekolah di kelas 7 dan kelas 8. Salah satunya Ernia, di kelas 7,” ungkap M.Saleh, Kepsek Madrasah Tsanawiyah DDI Kanang.
Menurut Pak Piter, intervensi Pemkab Polewali Mandar dengan dukungan UNICEF melalui program Transisi hingga April 2012 membuat tak kurang dari enam ribu anak di kabupaten ini bisa kembali bersekolah hingga ke jenjang SMP.
Kunci sukses
Keberhasilan Kabupaten Polewali Mandar membangun sistem informasi berbasi masyarakat tak lepas dari komitmen Pemerintah Kabupaten yang mengalokasikan anggaran khusus untuk membenahi data dan kegiatan tindak lanjutnya. Dukungan pun datang dari berbagai pihak seperti UNICEF dan PNPM, baik dalam hal teknis maupun kucuran dana.
Ini bisa dilihat dari tahun 2004 sampai 2007, dana alokasi APBD Polman sebesar Rp.404 juta dan alokasi dana UNICEF sebesar Rp.750 juta. Sementara untuk menindaklanjuti hasil SIPBM, pemerintah daerah lewat alokasi APBD memberikan dukungan beasiswa bagi anak putus sekolah dan tamat tidak lanjut pada tahun 2007 sebesar Rp.250.000/anak/tahun kepada 438 siswa. Tahun 2008, beasiswa anak putus sekolah sebesar Rp.360.000/siswa untuk 850 siswa dan beasiswa Miskin Berprestasi sebanyak Rp.360.000/tahun untuk 250 Siswa.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar juga bekerjasama dengan UNICEF dan PNPM Generasi Sehat Cerdas yang berfokus pada penuntasan wajib belajar. Untuk tuntas belajar di pendidikan dasar bagi sekitar enam ribu anak ini, biaya yang diperlukan adalah sebesar Rp.1 miliar. “Tidak ada alasan apapun yang bisa membuat anak putus sekolah, semua anak di Polman harus bersekolah,” tegas Ali Baal.
Keinginan ini diwujudkan dalam Peraturan Bupati Polman No.14 Tahun 2012 tentang Wajib Belajar 12 tahun dan Instruksi Bupati Nomor.421/5183/DISDIKPORA tentang Pemutakhiran data SIPBM. Kedua aturan ini mewajib setiap desa membiayai minimal 2 anak putus sekolah, membuka posko pengaduan putus sekolah, memutakhirkan data SIPBM setiap tahunnya dan melakukan pendataan ulang setiap 5 tahun untuk memastikan tidak ada lagi anak SD yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMP. Peraturan ini juga tidak mensyaratkan siswa untuk memakai seragam sekolah. ”Tidak punya seragam tidak boleh menjadi alasan untuk tidak bersekolah,” imbuh Ali Baal.
SIPBM bukan semata-mata bagaimana menghasilkan dan memanfaatkan data. Namun lebih penting adalah pendataan berbasis aksi. Pendataan yang dikemas dalam bingkai advokasi, bagaimana membangun kesadaran bersama bahwa masalah pendidikan, masalah putus sekolah, masalah buta huruf bukan semata tanggung jawab pemerintah, namun semua elemen masyarakat karena pendidikan dasar adalah hak asasi bagi generasi muda dan investasi bangsa untuk mencapai tujuannya.