Kalaodi, Kampung Ekologi Penjaga Tidore

Warga Kalaodi yang bermukim di daratan tinggi Pulau Tidore, Maluku Utara sangat tahu cara mencintai alam. Bagi mereka, merusak alam bukan hanya melukai leluhur, tapi juga membawa kesengsaraan bagi orang-orang di Kota Tidore.

Kalaodi telah ada sejak masa kepemimpinan Nuku Muhammad Amiruddin atau lebih dikenal dengan nama Sultan Nuku. Pada tahun 1964, di masa kepemimpinan Sultan Zainal Abidin Syah, Kalaodi dibagi menjadi dua dusun. Statusnya berubah menjadi desa di tahun 1965 dan pada tahun 2007 Kalaodi berubah lagi menjadi kelurahan hingga sekarang.

Warga Kalaodi mengenal dua pemerintahan, ada pemerintahan negara dan ada pemangku adat yang dipimpin oleh Suwohi. Dalam pemerintahan negara, Kalaodi dipimpin oleh seorang Lurah dibantu oleh perangakat Kelurahan. Dalam adat, Kalaodi dipimpin oleh seorang Suwohi yang memfasilitasi para Simo Gam atau kepala suku.

Jumlah penduduk Kalaodi terbilang sedikit, yaitu 117 kepala keluarga atau 503 orang. Meski berpenduduk sedikit, perputaran ekonomi di Kalaodi berjalan sangat baik. Hingga sekarang, kawasan Kalaodi masih menjadi salah satu penghasil pala dan cengkeh terbaik di Indonesia.

Kelurahan Kalaodi terbagi ke dalam empat lingkungan yaitu Lingkungan Dola, Kola, Golili, dan Suwom. Keempat Lingkungan ini terletak saling berjauhan dan dipisahkan oleh hutan dan kebun-kebun cengkeh nan hijau. Kantor Kelurahan berada di Lingkungan Dola.

Pendekatan Leluhur

Kalaodi adalah salah satu Kampung Tertua di Pulau Tidore. Kehidupan keseharian warga Kalaodi tak bisa dipisahkan dari sejarah dan tradisi.

Dalam kehidupan sehari-hari,  Suwohi sangat dihormati oleh warga Kalaodi karena perannya mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan tradisi dan ritual adat. Suwohi juga memastikan Simo Gam di masing-masing lingkungan yang menjaga kehidupan warga Kalaodi senantiasa sejalan dengan adat istiadat dan selaras dengan alam.

Struktur adat yang masih dipegang teguh oleh warga Kalaodi menjadikan mereka senantiasa mengutamakan perlindungan alam. Seluruh kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam selalu diputuskan bersama. “Bahkan untuk menebang sebatang pohon pun tetap harus dibicarakan bersama antara warga, pemangku adat, dan pemerintah,” kata Abdul Riwayat Hadi, Lurah Kalaodi.

Sekitar tigapuluh tahun yang lalu, dengan mempertimbangkan penambahan jumlah penduduk dan meluasnya pemukiman di Kalaodi, dibuatlah aturan untuk memindahkan sebagian penduduk ke Dataran Oba.

Sejak itu membangun kehidupan di tempat lain di luar Kalaodi adalah pilihan lumrah bari para pemuda Kalaodi yang telah menyelesaikan sekolah. Adapun warga yang meneruskan hidup di Kalaodi terus mengelola hutan dan lingkungan sekitarnya mengikuti aturan adat dan tradisi yang berlaku.

Sejak masa leluhur, warga Kalaodi tahu berterima kasih kepada alam. Salah satu caranya adalah dengan melakukan ritual Paca Goya, sebuah ritual yang diyakini memiliki kekuatan mistik yang berhubungan dengan alam.

Ritual ini bukan merupakan agenda rutin di Kalaodi. Paca Goya biasanya diadakan setelah panen besar dan ditentukan oleh para pemangku adat. Paca Goya dilakukan bila dianggap tiba masanya untuk membersihkan tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti bukit dan gunung, tempat dimana kebun dan pemukiman warga juga berada.

Seluruh warga Kalaodi dari berbagai penjuru Pulau Tidore akan datang untuk mengikuti ritual Paca Goya. Dalam ritual Paca Goya, warga menghentikan seluruh aktivitas hariannya. Ritual ini bisa berlangsung selama tiga hari penuh. “Pada puncak ritual Paca Goya, seluruh warga Kalaodi akan berkumpul dan makan bersama,” tutur Syamsuddin.

Dalam interaksinya dengan alam semesta dan dalam kehidupan bermasyarakat, warga Kalaodi mengenal Bobeto. Dalam bahasa Tidore, Bobeto berarti sumpah turun temurun. Bobeto sangat dijunjung tinggi oleh warga. Warga Kalaodi meyakini, bila Bobeto dilanggar maka musibah akan menimpanya.

Salah satu Bobeto yang ditaati warga dalam mengolah alam berbunyi,  “Nage dahe so jira alam, ge domaha alam yang golaha si jira se ngon”. Barang siapa yang merusak alam nanti dirinya dirusak oleh alam.

Bobeto ini diejawantahkan dalam beberapa aktivitas utama perlindungan alam. “Pertama yang paling dijaga adalah sumber air.  Kedua, jangan sampai timbul erosi, banjir dan bencana lingkungan yang berdampak pada daerah di dataran rendah, utamanya Kota Tidore, tempat dimana istana Sultan berada,” kata Syamsuddin Ali, Sekertaris Lurah Kalaodi.

Berangkat dari kesetiaan menaati Bobeto inilah, warga Kalaodi tidak serakah dalam mengelola sumber daya alam dan berhasil menjaga pesisir Pulau Tidore dari ancaman kekeringan dan bencana lingkungan lainnya.

Pengelolaan lahan dan pengorganisasian warga

Sosok Suwohi punya andil besar mengatur segala kegiatan komunal di Kalaodi dapat berjalan mulus. Jika satu kelompok sedang mengerjakan lahan di bagian Utara, maka yang lainnya harus ke Selatan. Kelompok kerja yang dibentuk juga beragam. Ada yang Kelompok Pemuda, Kelompok Ibu-Ibu, dan kelompok lainnya sesuai  dengan kepentingan pengelolaan lingkungan.

“Setiap kelompok memiliki ketua masing-masing. Hasil panen dari masing-masing kebun kelompok harus dikelola oleh lingkungan,” kata Syamsuddin Ali.

Meski begitu, warga juga punya hak atas tanamannya masing-masing. Dalam satu areal lahan misalnya, setiap pohon punya pemiliknya. Tidak pernah ada orang yang mengambil hak orang lain. Hasil dari tanaman itu pun dikuasai penuh oleh pemilik tanaman.

Pengelolaan keuangan hasil panen kelompok dilakukan secara terbuka. Setiap lingkungan punya strukturnya masing-masing. Ketua Rukun Tetangga bertindak selaku Bendahara. Jika ada kebutuhan yang mendesak, maka hasil panen baik pala atau cengkeh harus dialihkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak tersebut.

“Biasanya untuk keperluan umum, seperti bangun masjid atau keperluan pengelolaan sekolah, bahkan untuk kegiatan kepemudaan,” jelas Syamsuddin.

Bila timbul riak masalah dalam kelompok kecil dan antar lingkungan, warga Kalaodi selalu membahasnya dalam pertemuan malam Jum’at. Musyawarah ini biasanya dirangkaikan dengan tahlilan.

Apabila ada masalah yang tidak terpecahkan dalam pertemuan malam Jum’at, maka Simo Gam (Kepala Suku di satu Lingkungan) akan mengajukan permasalah tersebut ke hadapan Suwohi. Apapun yang nantinya diputuskan oleh Suwohi, semua pihak harus menerima tanpa boleh menentangnya.

Mengenal Perhutanan Sosial

Walaupun sejak zaman leluhur warga Kalaodi telah terbiasa menjalankan amanah untuk menjaga baik-baik hutan dan lingkungan di sekitarnya, bukan berarti mereka tidak pernah mengalami tantangan dalam mengelola sumberdaya alam.

Tahun 1982 wilayah hutan di sekitar Kalaodi termasuk pemukiman warga, ditetapkan sebagai Hutan Lindung Tagafura oleh Pemerintah. Warga sempat  bertanya-tanya, kenapa pemukiman dan lahan-lahan kebun mereka diubah menjadi hutan lindung? Mengapa mereka tidak boleh lagi dengan bebas mengolah lahan di sana?

Masalah perubahan status lahan menjadi Hutan Lindung kemudian ditimpa dengan gelombang modernisasi yang melanda Kalaodi. Beberapa warga mulai mengajukan niat untuk memiliki lahan secara individu. Ini sangat bertentangan dengan praktik turun-temurun pengelolaan lahan secara komunal di Kalaodi.

Cukup lama warga Kalaodi resah akan ancaman perubahan status lahan dan cara pengelolaannya. Hingga pada tahun 2014 Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara hadir di Kalaodi dan mengajak warga menyiapkan sempadan selebar 15 meter untuk ditanami bambu. Rampun bambu yang ditanam ini harus dipelihara dan bila sudah bisa dipanen, bambunya tidak boleh ditebang secara radikal.

“Kami memperkenalkan aktivitas perhutanan sosial untuk merawat cara komunal yang telah lama ada. Praktik ini sejatinya telah lama dilakukan oleh warga Kalaodi,” kata Yudhi Rasjid, Staf Walhi Maluku Utara yang khusus ditugaskan di Kalaodi.

Berkat gerakan tanam bambu tersebut, Kalaodi kini menjadi surganya tanaman bambu. Beragam jenis bambu tumbuh di Kalaodi, mulai dari jenis bambu biasa hingga bambu kuning berbintik merah dan corak batik tumbuh subur. Warga juga tidak serta merta menebangnya. Hanya bambu yang kering di batang yang boleh diambil dan diolah menjadi bahan anyaman.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2017 yang membolehkan kepemilikan sertifikat tanah atas rumah juga mengikat mereka. Tanah tersebut tidak boleh dijual ke orang lain dan hanya bisa diwariskan.

Pendekatan Perhutanan Sosial ini dinilai sangat cocok bagi Kalaodi. Selain merehabilitas hutan, dalam skema perhutanan sosial, warga kalaodi dapat terus mengembangkan potensi hasil kebun dan hutan, seperti pala, cengkeh, melinjo, madu, dan bambu.

“Saat ini Walhi Maluku Utara juga tengah mendampingi Kelurahan Kalaodi dalam memenuhi persyaratan untuk mengajukan Izin Usaha Perhutanan Sosial”, tutur Yudhi. Sebelumnya, Walhi Maluku Utara telah melakukan pemetaan partisipatif bersama masyarakat.

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Ternate-Tidore Ibrahim Tuheteru mengatakan, pihaknya tengah mendorong pendekatan perhutanan sosial di Kalaodi. “Harapannya dengan skema perhutanan sosial ini, warga Kalaodi bisa merasakan manfaat hasil hutan. Sementara di sisi lain hutan yang ada tetap lestari” katanya.