Selayar, Menuju Kabupaten Konservasi

Selayar, Menuju Kabupaten Konservasi

Kita semua terikat dengan lautDan saat kita kembali ke lautapakah itu untuk berlayar atau sekedar melihat – kita akan kembali ke tempat di mana kita berasal. – John F. Kennedy

We are tied to the ocean. And when we go back to the sea, whether it is to sail or to watch – we are going back from whence we came. – John F. Kennedy

Laut adalah kehidupan. Tidak hanya bagi mereka yang tinggal di pesisir namun juga yang hidup di dataran dan pegunungan. Begitu pula dengan desa-desa di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Layaknya Kabupaten Kepulauan lain di Kawasan Timur Indonesia, sebesar 92 persen dari 22.885,35 kilometer persegi wilayah Selayar adalah laut. Tidak mengherankan bila hampir seluruh warga di 52 desa pesisir di Kabupaten Kepulauan Selayar  menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut.

Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan akan sumberdaya perikanan laut pun meningkat. Tingginya kebutuhan ini mendorong masyarakat nelayan di Selayar dan sekitarnya untuk mencoba cara-cara cepat mendapatkan ikan yang banyak namun tidak ramah lingkungan. “Mengebom atau membius memang memberi hasil tangkapan yang lebih banyak dalam waktu singkat”, aku Daeng Matalli, nelayan dari Desa Barat Lambongan. “Kalau pakai pancing dan jala, sedikit yang bisa kami dapat, padahal ikan sangat banyak”, imbuhnya.

Sumberdaya laut di Selayar pernah mengalami masa eksploitasi yang berlebihan. Hal ini terutama didorong dari minimnya pengetahuan nelayan di sana akan dampak dari  aktivitas destruktir mereka.  Memang, mayoritas nelayan Selayar yang adalah nelayan tradisional. “Dulu kami sering mengambil karang di laut untuk dijadikan bahan membangun rumah. Kami tidak menyangka itu bisa mempengeruhi jumlah ikan di perairan kami,” kisah Andi Eti, seorang ibu di desa Bontolebang.

Praktik penangkapan ikan yang merusak dan aktivitas pengambilan karang memang sempat meningkatkan pendapatan nelayan di Selayar. Namun berbagai persoalan mulai muncul belakangan. Setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat Selayar mulai menghadapi penurunan ketersediaan stok ikan dan rusaknya terumbu karang yang nota bene menjadi rumah bagi banyak jenis ikan.

Mulai melindungi wilayah laut desa

Menyadari bahwa tugas menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati adalah tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat, sejak tahun 2008 Pemerintah Kabupaten Selayar melalui Dinas Kelautan dan Perikanan menerapkan Program Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Selayar, KKLD diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang konservasi wilayah perairan. Tujuan utama program ini adalah menyediakan daerah perlindungan khusus untuk menjaga kelestarian hayati laut dan mencegah kerusakan terumbu karang.

Sebelum ditetapkan menjadi Program Kawasan Konservasi Laut Daerah, masyarakat diperkenalkan pada konsep Daerah Perlindungan Laut (DPL). Awalnya mereka menganggap adanya DPL akan mengurangi hasil karena mempersempit wilayah tangkapan mereka. Apalagi saati itu mereka belum sadar bahwa perilaku yang merusak laut dapat berdampak negatif di masa depan. Zul Janwar, seorang staf DKP yang bertugas mengawal pembentukan KKLD mengatakan,”Saat itu kami memperkenalkan DPL sebagai bank ikan. Dengan adanya zona inti DPL yang dilindungi akan menjamin sehatnya terumbu karang yang juga berpengaruh pada bertambah banyaknya ikan di zona pemanfaatan, zona dimana masyarakat boleh melakukan aktivitas perikanan yang ramah lingkungan.”

Pada setiap desa dibentuk kelompok masyarakat yang bertugas mengawasi setiap DPL di desa masing-masing. Pengawasan Daerah Perlindugnan Laut dilakukan sebagai usaha kolaboratif dengan memanfaatkan bantuan dana dari program pemerintah.

Pemerintah setempat menggunakan Dana alokasi Desa sebesar 20-30 juta per tahun untuk penanggulangan destructive fishing yang disalurkan lewat Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) bentukan Pemerintah Desa. Melalui Pokmas Konservasi bentukan Program, desa mendapatkan bantuan berupa kapal pengawas. Hampir seluruh anggota Pokmaswas adalah anggota Pokmas konservasi sehingga kegiatan pengawasan dapat bersinergi dan menggunakan dua sumber dana.

Selain menetapkan DPL dan zonasi untuk membedakan wilayah penangkapan dan wilayah perlindungan, Program KKLD  juga melaksanakan  kegiatan untuk mencegah kegiatan yang berpotensi merusak terumbu karang dengan menggunakan pendekatan budaya setempat. Pendekatan ini diterapkan di Desa Parak, lima kilometer di utara kota Benteng, ibukota Kabupaten Selayar.

Di Desa Parang, telah dikenal adat istiadat untuk menjaga kelestarian wilayah laut. Penduduk Desa ini telah memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga laut mereka. Menurut Andi Nawir, tokoh Desa yang kemudian diangkat menjadi Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) Konservasi, “Jauh sebelum adanya program konservasi laut daerah, Desa Parak sudah melakukan pengawasan dan sudah berlaku hukum adat yang mengatur perlindungan laut.”

Menemukan pengganti bom ikan

Oleh karena tujuan akhir dari setiap program pelestarian adalah menjaga ketersedian stok ikan agar mata pencaharian nelayan tetap terjamin, Program KKLD pun memberi perhatian besar pada upaya-upaya memperkenalkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir yang selama ini hanya menggantungkan hidup dari menangkap ikan. “Kami sadar betul, tanpa partisipasi masyarakat, laut ini pasti susah kita jaga. Satu kiat memberhentikan perilaku menangkap ikan dengan cara merusak adalah dengan memperkenalkan mata pencaharian alternatif,” jelas Marjani Sultan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Kepulauan Selayar.

Upaya memperkenalkan mata pencaharian alternatif pun dimulai dengan mengidentifikasi jenis mata pencaharian yang kira-kira paling sesuai dengan budaya masyarakat Selayar. Andi Penrang, Koordinator CBM Dinas Kelautan Perikanan mengatakan, “Kami melakukan pendekatan untuk mengidentifikasi potensi mata pencaharian alternatif di setiap desa. Salah satu potensi mata pencaharian alternatif yang teridentifikasi adalah keramba tancap”.

Budidaya ikan dengan menggunakan keramba tancap banyak dilakukan oleh masyarakat nelayan di Kepulauan Seribu. Oleh karenanya sebuah studi banding diadakan untuk memberi kesempatan masyarakat Selayar belajar membudidayakan ikan dalam keramba tancap. ”Tahun 2010, sepulang dari Jakarta, saya mulai membentuk kelompok dengan anggota 12 orang dan mendapat bantuan dari bupati untuk memelihara ikan kerapu dalam  keramba tancap. Hanya beberapa bulan kemudian kami sudah memanen hasilnya,” tutur Pak Arsyad, Kepala Desa Bontolebang.

Kegiatan budidaya ikan di keramba tancap ini membuahkan hasil yang baik. Pelan-pelan masyarakat mulai meninggalkan kegiatan lama mereka mengebom dan membius ikan. Mappalewa, mantan pelaku utama pemboman dan pembiusan ikan menegaskan, “Ternyata tidak ada gunanya menjadi pelaku pengeboman ikan. Lima tahun saya mengebom, ikan yang ditangkap tidak bertambah banyak. Malah akhirnya anak saya putus sekolah karena saya tidak punya uang untuk bayar sekolah lagi”, imbuh Mappalewa yang kini menjabat sebagai Ketua Pokmas Kosnervasi Desa Bontolebang.  Setelah memiliki keramba tancap, pendapatan Mappalewa meningkat dan ia mampu membiayai sekolah anaknya yang kini duduk di bangku SMA.

Dalam waktu kurang dari dua tahun, kini sebanyak 94 keramba tancap berjajar rapih di wilayah perairan Desa Bontolebang. Keramba ini dipenuhi ikan kerapu dan hasilnya sangat membanggakan masyarakat Desa Bontolebang. Dukungan masyarakat bagi program KKLD di Desa Bontolebang pun meningkat. Mereka mulai mengerti bahwa menjaga DPL dapat menjamin ketersediaan bibit alam agar stok ikan di laut dapat meningkat, disamping bibitnya dapat mereka gunakan untuk budidaya ikan di keramba. Mereka pun sadar bahwa menjaga terumbu karang di zona inti DPL di desa mereka akan menghasilkan ketersediaan ikan yang melimpah di zona pemanfaatan mereka.

Lain cerita di Desa Barat Lambongan. Di desa ini program konservasi menitikberatkan pada bantuan permodalan. Modal ini digunakan nelayan untuk memperbaharui alat tangkap mereka dengan alat yang lebih modern dan ramah lingkungan.

Dengan alat tangkap baru, nelayan mampu menangkap ikan lebih banyak tanpa harus menggunakan bom atau bius. “Dua hari lalu saya menggunakan jaring baru dan mengangkat lebih dari seribu ekor banjar, belum pernah saya dapat ikan sebanyak ini”, kisah Daeng Matalli.

Setelah dua tahun menetapkan dan menjaga DPLnya, masyarakat Desa Barat Lambongan mulai melihat kondisi laut yang membaik dan ikan semakin mudah didapatkan. “Saya sering ke wilayah DPL dan melihat sendiri terumbu karang sudah mulai bagus kembali. Mulai banyak jenis ikan di sana. Bahkan ikan napoleon yang dulu menghilang, sekarang sudah mulai banyak lagi,” lanjut Daeng. Matalli yang sebelumnya menangkap ikan dengan cara menyelam. Sekarang Daeng Matalli masih sering menyelam untuk mengawasi DPL Perlindungan Laut di desanya, bukan untuk menangkap ikan.

Selain untuk revitalisasi alat tangkap, masyarakat Desa Barat Lambongan juga digunakan untuk memulai usaha lain. Ibu Niuji, bendahara LKM Desa Barat Lambongan mengatakan, “Setidaknya terdapat lima usaha yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat dengan menggunakan bantuan modal ini”. Niuji menambahkan, hingga bulan Juli 2012 sebanyak 131 nasabah telah menerima bantuan modal dan dana yang tersalurkan adalah sebesar 197 juta rupiah.”

Kisah menarik lainnya datang dari Desa Parak. Menurunnya aktivitas pengeboman ikan justru memotivasi masyarakat untuk melakukan diversifikasi pekerjaan. Di desa ini, hasil perkebunan kelapa yang melimpah dimanfaatkan menjadi kopra kelapa, arang kelapa dan minyak kelapa. Tak hanya di Desa Parak, sebuah kelompok perempuan di Desa Bontolebang mulai memproduksi abon ikan. “Dengan modal 250 ribu kami bisa menjual abon senilai 600 ribu dan keuntungannya dibagi langsung ke anggota kelompok”, kata Rosminak Ketua Kelompok Perempuan Pengolahan Hasil Perikanan Kembang Dahlia. Tak hanya memproduksi, kelompok ini juga aktif memberi pelatihan pembuatan abon ikan kepada kelompok-kelompok perempuan lainnya.

Semakin bertambahnya kesadaran akan pentingnya memiliki DPL di tiap desa, memudahkan perluasan upaya konservasi di Kabupaten Pulau Selayar. Tahun 2012 ini, Dinas Kelautan dan Perikanan telah membentuk 57 DPL pada 52 desa di pesisir Kabuaten Kepulauan Selayar. Membentuk DPL sebagai daerah perlindungan khusus terhadap kawasan yang bernilai ekologis tinggi  adalah kunci keberhasilan penetapan wilayah konservasi laut daerah di Kabupaten ini.

Agar efektif, pembentukan DPL juga ditunjang oleh Peraturan Desa (Perdes). Perdes ini lah yang menjadi landasan pemberian sanksi bagi siapapun yang melanggar peraturan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dan ekosistem didalamnya. “Dengan keberadaan KKLD di Kabupaten Selayar, target untuk menjadi kabupaten konservasi di tahun 2014 dapat tercapai,” pungkas Marjani Sultan.